I'LL Teach You Marianne

Salam perpisahan



Salam perpisahan

Sesekali Anne menyeka kedua matanya yang basah saat mendengar pembicaraan dokter Leo dan Steffi melalui video call, meski wajahnya tak muncul dilayar monitor namun Anne bisa melihat wajah pucat Steffi yang terlihat sangat tirus.     

"Tidak dok, aku tak mau mengobati sakitku ini. Aku anggap sakitku ini adalah penebus dosa yang selama ini sudah kuperbuat dalam kondisi sadar, jadi saat ini yang ingin aku lakukan adalah menikmati setiap kenikmatan ini,"ucap Steffi serak sambil terus menatap dokter Leo yang baru saja membaca hasil pemeriksaan milik Steffi yang dikirimkan melalui email.     

Saat ini kanker darah yang Steffi idap sudah sampai ke Stadium IV. Stadium IV menunjukkan kanker darah sudah mengalami metastasis. Dengan kata lain, sel kanker yang tadinya hanya ada di darah, sumsum tulang, dan kelenjar getah bening akhirnya menyebar ke organ tubuh lainnya. Pada tahap ini, pasien biasanya mengalami gejala khas seperi nyeri terus menerus di sekujur tubuh, lemas dan tak bertenaga melakukan apapun, dan tubuh yang semakin kurus.     

"Setidaknya cobalah terapi yang ada dirumah sakit terlebih dahulu, Nona. Jangan putus asa seperti ini, Tuhan akan sangat tak menyukai hamba-Nya yang berputus asa,"jawab dokter Leo pelan memberi masukan pada Steffi.     

Steffi yang sedang duduk diatas ranjangnya tersenyum dan menggeleng perlahan. "Bolehkah aku bicara dengan Anne, dok?"     

"Tentu saja."     

Dokter Leo langsung mengarahkan layar laptop ke arah Anne yang duduk disampingnya tanpa meminta persetujuan Anne terlebih dahulu, sehingga membuat Anne nampak gelagapan karena bertatap muka dengan Steffi meski melalui layar laptopnya.     

Dalam dua menit tak terjadi percakapan apa-apa antara Steffi dan Anne, keduanya hanya saling menatap dalam diam dengan mata yang sudah dipenuhi air mata.     

"Aku turut berduka cita atas apa yang menimpa putrimu, Anne,"ucap Steffi pelan memecah kebisuan antara mereka berdua.     

"Terima kasih,"jawab Anne serak, suaranya bergetar menahan tangis.     

Menyadari keberadaannya tak dibutuhkan, dokter Leo perlahan keluar dari kamar Anne bersama Noah yang sebelumnya membawakan minum untuk Anne.     

Anne yang siap untuk berbicara menahan diri saat melihat Steffi terbatuk-batuk, meski saat ini Steffi sudah menggunakan sapu tangan untuk menutupi mulutnya namun Anne masih bisa melihat tetesan darah yang terkupul di sapu tangan berwarna putih itu. Dada Anne pun semakin sesak saat melihat penderitaan Steffi, Anne yakin sekali saat ini Steffi pasti sangat kesakitan.     

"S T E F F I." Anne memanggil Steffi serak mencoba menahan air matanya agar tidak turun membasahi wajahnya.     

Steffi yang baru saja meminum air kemudian kembali tersenyum pada Anne. "Maaf, aku harap kau tak jijik mendengar suara batukku tadi, Anne."     

"Jijik? Kenapa kau bicara seperti itu disaat seperti ini?"     

Steffi tersenyum. "Jangan Anne, jangan menangis. Kau tak pantas menangisi wanita hina dan tak tau diri sepertiku ini, kastamu jauh berbeda denganku yang hanya seorang pelacur ini. Jadi aku mohon jangan sia-siakan air matamu untukku."     

Telat, air mata Anne sudah tak bisa ditahan lebih lama lagi. Bagai air dimusim penghujan, air mata mata Anne mengalir dengan deras dari kedua matanya membasahi wajah cantiknya yang tak dipoles make up itu.     

Melihat Anne menangis secara otomatis Steffi pun menangis, ia menangis tanpa suara dengan dada yang terasa sangat sakit. Sepertinya nyawanya benar-benar sudah tak lama lagi, setiap kali tarikan nafas yang ia lakukan setiap kali itu pula ia merasakan sakit yang menusuk pada paru-parunya.     

"Kenapa kau tak mau melakukan pengobatan, Steffi? Kau pasti bisa sembuh jika mau berobat,"ucap Anne lirih.     

"Penyakitku sudah sangat parah, Anne. Tak mungkin disembuhkan dan sangat mustahil untuk bisa pulih seperti sedia kala, tapi aku bersyukur dengan kondisiku yang menyadarkanku dari keegoisan dan keangkuhanku,"jawab Steffi pelan. "Yang aku ingin lakukan adalah meminta maaf padamu, aku berdoa pada Tuhan setiap hari untuk memberikan kesempatan padaku meminta maaf padamu atas semua kegilaan yang sudah aku lakukan dulu."     

Anne menyeka air matanya dengan cepat. "Aku sudah memaafkanmu, sejak dulu. Aku benar-benar sudah memaafkanmu, Steffi. Jadi kau tak perlu bicara seperti itu, yang kau lakukan saat ini adalah fokus pada penyembuhanmu. Percayalah, kau masih bisa sembuh. Pulih seperti sedia kala, Steffi."     

"Kau terlalu baik Anne, bahkan sangat baik. Kini aku mengerti kenapa dulu Nyonya Chaterine sangat menyukaimu, tak sepertiku yang dipenuhi sifat jelek yang membuatmu terluka. Uhukkk...maafkan aku Anne, maafkan atas apa yang sudah aku perbuat padamu dulu. Aku benar-benar menyesal sudah menjadi duri dalam pernikahanmu dengan Leon."     

Anne menggeleng dengan cepat sambil memegangi laptopnya. "Lupakan itu, aku tak mau membahasnya lagi. Aku sudah melupakan semua yang terjadi pada kita dulu, aku juga sudah melupakan lelaki gila itu. Jadi stop bahas semua itu lagi, aku tak mau mendengarnya."     

Steffi menatap Anne dengan mata berkaca-kaca, perlahan ia menyentuh layar laptopnya seperti sedang menyentuh wajah Anne. "Seandainya ada kehidupan lagi setelah ini aku ingin menjadi temanmu sekali lagi, Anne. Kau masih ingin menjadi temanku lagi, bukan?"     

"Tentu saja, tentu saja aku mau. Saat ini kita juga sedang berteman, kau temanku Steffi. Aku mohon jangan bicara lagi, wajahmu pucat sekali. Lebih baik kau minum obatmu dan..."     

"Marianne." Steffi memotong perkataan Anne dengan cepat. "Dengarkan aku baik-baik, aku tak akan bicara panjang lebar lagi jadi tolong dengarkan apa yang ingin aku katakan..uhukkk.. Leon, lelaki jahat itu sedang menargetkan kalian. Dia berambisi sekali memisahkanmu dari suamimu, sebenarnya sejak dulu ketika ia melihatmu kembali di kampus saat itu ambisi Leon untuk memilikimu sangat besar. Namun karena saat itu ada aku disampingnya, dia tak bisa berbuat banyak tidak seperti sekarang. Katakan pada suamimu untuk hati-hati padanya, Leon tak akan mungkin main-main. Dia akan melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya, kau tahu itu bukan?"     

Anne mengangguk pelan. "Aku tahu,"jawabnya pelan.     

"Baguslah, aku berdoa pada Tuhan untuk semua kebahagiaanmu dan keluargamu, Anne. Maafkan kesalahanku dulu yang sudah membautmu menderita, aku sebenarnya tak pantas meminta maaf padamu setelah apa yang aku lakukan selama ini,"ucap Steffi kembali dengan suara yang semakin tak terdengar.     

"Steffi stop..."     

"Uhukk byurr..."     

Layar monitor laptop Steffi dipenuhi darah segar yang keluar dari mulutnya dan membuat Anne memekik keras karena terkejut.     

Dengan menggunakan tangannya Steffi buru-buru membersihkan layar monitornya dari darahnya, dari mulutnya pun saat ini masih menetes darah segar. Kondisi Steffi benar-benar membuat Anne tak mampu bicara selain menangis.     

"Steffii..."     

Sekali lagi Steffi terbatuk dalam waktu yang lama, Anne pun langsung memejamkan kedua matanya. Bukan karena jijik, tapi karena tak tega. Anne dapat mendengar dengan jelas berapa kali Steffi muntah darah, sungguh menyakitkan.     

Menyadari waktunya hampir tiba Steffi kembali menatap layar laptop dan tersenyum pada Anne. "A-aku beruntung bisa mengenalmu Anne dan pernah menjadi temanmu meski hanya sebentar, ma-maafkan aku M-marian...ann..."     

Hening, tak terdengar suara apapun dari Steffi. Kini Anne menatap dinding kamar dari layar laptopnya, tak ada Steffi lagi disana. Bahkan suara batuknya juga tak terdengar lagi. Seketika seluruh tubuh Anne menjadi dingin.     

"Dokter Leo....dokter Leo...." Anne menjerit keras memanggil dokter Leo untuk masuk kembali kedalam kamarnya.     

"Ada apa, Nyonya?"tanya dokter Leo dengan cepat begitu masuk kedalam kamar Anne kembali.     

Anne menunjuk layar laptopnya dan berkata, "Tolong...tolong Steffi."     

Bersambung     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.