Ciuman Pertama Aruna

III-63. Meeting Penting



III-63. Meeting Penting

"Kamu tahu seberapa rawannya ibu hamil pada semester pertama?" Hendra menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan sang Oma.      

"Aruna bisa keguguran kalau kau menungganginya tiap malam," monolog Oma Sukma amat mencengangkan. Suaranya pun menukik, jauh dari kebiasaan sehari-hari istri Wiryo.      

Aruna memerah malu seketika. Hendra yang baru duduk langsung kena marah ikut terbawa suasana.      

"Oma kosakata Anda terlalu vulgar," Aruna menenggelamkan wajahnya di balik jas ketika mendengarkan sang suami membuat pembelaan tak kalah hebohnya.      

"Lebih vulgar mana dibanding kelakuanmu yang suka menggigit istrimu," mata Oma mengarahkan mata ke seputaran kaki Aruna, bahkan betis istri Mahendra menyajikan warna merah, "lihat! tubuhnya dipenuhi bercak merah. dimana-mana,"      

"oma.. sudahlah, sebaiknya kita tidak mencampuri sampai wilayah privasi mereka," Gayatri mengelus lembut tangan sang Oma.      

"Diam kamu Gayatri! ini demi keselamatan cicitku,"      

"cicit anda juga cucuku," balas Gayatri.      

"lebih tepatnya Anakku," sela Hendra merasa paling berkuasa.      

"Tapi kamu tidak punya kemampuan menjaganya, mengendalikan diri sendiri saja belum pecus," Sukma melempar api pada Hendra.      

"Apa anda bilang barusan?!" Hendra tersulut begitu saja.     

-Hadeh.. konyolnya,- Aruna mengubur kian dalam kepalanya dengan memanfaatkan jas Mahendra.      

sesaat kemudian perempuan ini memaksa kan diri untuk  muncul ke permukaan daripada mereka bertiga bertengkar tiada habisnya.     

"Saya rasa perdebatan ini tidak ada gunanya," sela Aruna.      

"Hush! diam!" bisa-bisanya Hendra meminta Aruna diam.      

"Lihat! Lihat lah dirimu! masih suka bicara kasar pada istrimu," Oma Sukma tak suka cara bicara Hendra pada Aruna yang menurutnya turut didengar janin kecil yang ada di dalam kandungan.      

"Ya tuhan.. aku cuma memintanya diam, salahku dimana?" Hendra mendadak menjadi pria emosian.      

"Bagaimana mau jadi ayah.. kamu bahkan tak sadar sudah berbicara kasar pada ibu hamil, itu bisa mempengaruhi janin," Oma lagi-lagi mendebat Mahendra.      

"Salah lagi.. salah lagi.. kapan aku benernya," keluh Hendra.      

"Emang tak pernah bener," sela Oma Sukma.      

"Jangan gitu dong Oma, Hendra masih butuh waktu.. beradaptasi jadi ayah," Mommy secara mengejutkan kian terbuka dengan lingkungannya.      

Mata Hendra sesaat tertuju mommy-nya mengamati perempuan yang kini mengelus ringan pundak Oma Sukma. "Ya.. aku akan belajar, belajar lebih sabar, terutama bersabar menghadapi sekelompok perempuan cerewet."     

"HENDRA!!" ketiganya menatap pria yang omongannya menyebalkan.      

Di balik lempar melempar ocehan, lelaki bermata biru tersentuh atas perhatian mommy-nya yang sempat memperingatkan Oma Sukma agar berkenan merendahkan ego. Dia pun turut menurunkan ego di dalam dirinya.      

Aruna mengamati tiap gerak dan ungkapan yang diusung masing-masing individu di sekitarnya. Penghuni yang lama tidak pulang ini menyadari satu hal terkait perubahan tiap-tiap anggota keluarga. Mereka perlahan penghangat satu sama lain.     

 Hanya saja Putri Lesmana tidak sadar bahwa dialah yang membuat segalanya berbeda.      

Duduk di teras bersama dan saling membicarakan hal tidak penting ialah kegiatan langka bagi keluarga Djoyodiningrat. Putri Lesmana yang membuatnya ada. Rumah ini kembali terisi bersama harapan kehadiran penghuni baru yang amat sangat ditunggu-tunggu.      

.     

"Hendra aku ingin kita ke dokter, kita ikut program hamil yang lebih serius yuk," ajak Aruna mengiringi langkah suaminya menuju kamar mereka dengan tangan tertaut di sisi kanan. Perempuan tersebut mendapatkan jawaban melalui kode sentuhan tangan kiri yang menepuk ringan punggung telapak tangan Aruna yang terkulai pada lengannya. Sambil tersenyum ringan Mahendra memberi kedamaian.      

"Hendra.. aku mau tinggal di sini mulai hari ini,"      

"Sungguh?" sempat tak percaya, tapi dia yang ditanya beneran mengangguk.     

"Yes!" sang pria mengangkat tangan kirinya membuat gerakan jemari mengepal bersama siku terdorong ke belakang.      

Aruna tertawa lepas mengimbangi sumringah Hendra bersama lesung pipinya. Namun, tawa itu tak berlangsung lama. Sang istri ber-kesiap ketika mendapati sekretaris Hendra menghadang langkah keduanya.      

"Hen, ini laporan dari unit Thomas yang kamu minta," Hendra maju sekian langkah menghampiri berkas yang ditawarkan Anna dan secara tak sadar melepaskan diri dari dekapan Aruna.      

Di balik cara Anna berinteraksi dengan Mahendra jelas sekali perempuan tersebut menatap mata Aruna. Aruna melempar senyumannya sekedar memberi kesan hangat. Tapi perempuan tersebut tak bergeming, seolah tak peduli.      

"Hen.. aku membuat jadwal meeting malam ini di rumah induk, aku sendiri yang akan mengatur persiapannya, termasuk memastikan tim almarhum Thomas hadir" Anna berbicara dalam jarak yang terlalu dekat dengan Mahendra.      

"Jangan katakan Thomas almarhum, jasad-"  mengingat keberadaan Aruna di sekitarnya mulut lelaki bermata biru terkunci seketika.      

"Sayang.." ini suara Aruna. Pria yang terpanggil bergegas menoleh, "aku ingin jalan-jalan bersamamu malam ini, sudah dua hari aku mendekam di kamar."     

"Kamu tahu meeting dengan tim Thomas lebih dari penting," Anna menguatkan argumentasinya, "kau sendiri yang mengatakan hal itu tadi siang."     

"Begitu ya.." Aruna mengangguk ringan, "kira-kira lama atau enggak?" kembali Aruna membuat pertanyaan.      

"seseorang yang bekerja dengan dedikasi tinggi tidak akan pernah memikirkan waktu," Anna memandangi Aruna, si mata bulat jelas sekali sedang memasang ekspresi kurang menyenangkan.      

"Oh, aku cuma bertanya pada suamiku," Aruna berjalan mendekat mencuri perhatian Hendra supaya tidak terlalu fokus pada kertas-kertas yang dia amati, "kalau memang lama, sekalian aku mau minta izin."     

"Izin??" Spontan mata biru teralihkan.      

"Aku ingin ke rumah Ayah, malam ini,"      

"Ayah? Ayah Lesmana?" Hendra menurunkan berkas di tangannya.      

"Iya, semenjak baby Alan lahir, kita belum pernah menjenguk lagi. Apa kamu lupa Hendra? Kita belum memberikan kado apa pun untuk baby Alan," Aruna menebar senyumannya, sangat sengaja, memastikan posisinya di hadapan Anna, entah apa yang terjadi perempuan ini juga tidak mengerti kenapa harus banget mereka bermusuhan. Padahal kalau dirasa-rasa kenal pun tidak.      

Daya tarik kalimat Aruna seketika mengubah fokus Hendra, mata biru  menyerahkan kumpulan berkas yang tadi disodorkan Anna.      

"Sejujurnya rencanaku kemarin.. sebelum aku akhirnya ditangkap opa Wiryo," sayangnya Hendra mendesah mendengarkan kalimat istrinya.      

Ada yang berat terlukis dari air mukanya, "kalau besok bagaimana sayang?"      

"Besok kita kesana lagi juga nggak apa-apa, hari ini aku sendiri dulu aja.. mumpung kamu meeting penting," Aruna bergerak menaiki tangga, "boleh ya.."      

"Besok saja sekalian.." Hendra mengikuti perempuannya, menaiki tangga menuju kamar utama mereka.      

"Kamu kan lama.. dari pada aku cuma boson, mumpung masih sore,"      

"Please besok saja, lebih aman bersamaku,"      

"Aku bisa berangkat sama Herry -kan', sama-sama amannya," sambil menyusuri lantai dua Aruna melirik keberadaan Anna.      

Aruna tahu Anna membuat gerakan kesal dengan mengibaskan kasar berkas di tangannya sambil berjalan kaku meninggalkan ruang tengah keluarga Djoyodiningrat.      

.     

.     

"Kau beneran akan meeting? Kalau kamu berangkat meeting artinya aku diizinkan berangkat ke rumah ayah," celetuk perempuan yang baru keluar dari kamar mandi, sejalan berikutnya duduk di depan cermin rias.      

"Dari mana tiba-tiba ada kesepakatan seperti itu?" Hendra yang kini mengenakan celana panjang dengan sweater ringan. Meraih sisir, ikut serta membantu Aruna merapikan rambutnya.      

"Kesepakatan tentang tak ada lagi keinginan saling membelenggu, dan membatasi aktivitas, masih berlaku -kan'?" Hendra menamati Aruna yang sedang mengoleskan lotion ke kulit tipisnya.      

Mata biru mendapatkan panggilan.      

"Huuh.. aku sudah ditunggu sayang," gelisah Hendra.      

"Silahkan berangkat, tidak ada yang melarangmu," ujaran Aruna meresahkan. Terlebih, perempuan tersebut berjalan memasuki ruang display baju tanpa menoleh sedikitpun kepada suaminya.      

"Andai aku tidak ditunggu tim Thomas tak akan ku biarkan kamu berangkat sendiri, hati-hati ya sayang," suara nyaring melewati celah dan terdengar Aruna.      

"Hen.. kemana baju-bajuku??"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.