Ciuman Pertama Aruna

III-45. Pewarta



III-45. Pewarta

"Enggak, hehe, supaya dramatis saja," kekeh Dea.     

"Baiklah, beritahu aku yang lainnya,"     

"Yang lain??"     

"tadi kamu masih nyebutin empat,"     

"Oh.. kau mendengarkan kata-kataku?? Tumben,"     

"Ayu lah Dea.." mulut mencucuh Aruna sungguh lucu. Tak kuasa Dea menolaknya.     

"tapi temani aku mengantar bekal kak Surya ke ruangannya," Dea tidak mengenali ruang-ruang di kantor ini, sejujurnya Aruna sama tak tahunya.     

"Baik, kita cari sama-sama ruangan kak, eh, dari kapan kamu memanggil pak Surya jadi -Kak??" Dua gadis ini berjalan beriringan dan saling menggoda satu sama lain.     

"Hehe, sejak dia minta di panggil kak, supaya perbedaan umur kita tidak mencolok,"     

Aruna tak kuasa menghalau keinginannya untuk tertawa melihat wajah Dea merah.     

.     

.     

"Benar di sini?" Dea mengintip pintu kaca, dalamnya berisikan banyak pekerja, akan tetapi sosok suaminya tak terlihat.     

"Masuk aja, De.." Aruna mendorongnya, Dea terlalu banyak berpikir.     

"Argh, Aruna kau.." ungkapan ini sudah tak berguna, Dea yang terdorong Aruna telah masuk ke dalam ruang corporate secretary kantor pusat DM grup. Jejeran mata menangkap keduanya. Dea membeku padahal saat ini ada yang bertanya kepadanya.     

"kalian mencari siapa?" Tanya seorang perempuan.     

"Em.. e.."     

"Pak Surya," serobot Aruna yang tak tahan melihat Dea gugup.     

Dan perempuan itu membuat panggilan dari Len telepon di depannya.     

.     

Tak lama terdengar suara langkah kaki setengah berlari, itu langkah kaki Surya yang tersenyum sumringah melihat kehadiran Dea.     

"Mumpung masih kumpul," belum kabur istirahat maksud Surya, "Aku ingin memperkenalkan istriku," Dea di perkenalkan pada anak buahnya, sejujurnya para karyawan tentu masih mengingat Dea. Terutama yang hadir pada pernikahan mereka.     

Aruna begitu iri melihat tim corporate secretary di hadapannya menegur hangat Dea, bahkan ada yang dengan santai melempar canda pada Surya.     

"jika kalian melihat istriku keluar masuk ruangan kita jangan terkejut, mulai hari ini dia menjalani praktik magang di kantor kita," kata Surya yang menghasilkan gurauan anak buahnya.     

"Wah siap-siap kita bakal liat ke uwu-an pak Surya," canda tawa mereka seolah tanpa sekat.     

"Yang punya istri, gitu ya sekarang,"     

"haha" dan banyak kata-kata lucu yang mereka lempar.     

Di situasi cerah ini hanya istri Mahendra yang murung, -apa Hendra punya kepedulian memperlakukan ku sehangat cara pak Surya- Aruna hanya bisa bergumam membayangkan wajah suaminya yang cuek dan jarang tersenyum.     

"Nona mau gabung dengan kami," ini tawaran Surya, pria tersebut memeluk bahu Dea dengan mesra.     

"Oh' nggak.. saya ke sini hanya mengantar Dea," Aruna tahu mereka punya privasi yang ingin di nikmati.     

Aruna menyingkir, sambil berjalan lambat. Rambutnya yang terurai itu bergerak-gerak tiap kali dirinya berjalan. Dan sesaat kemudian gadis ini meraih pita rambut pada sakunya lalu buru-buru mengikatnya. Dia berkincir kuda dan mulai membuat tekatnya, "Nanti kalau pulang awas saja, aku mau Hendra menuruti semua mauku," gerutu Aruna sepanjang langkahnya menuju ruang kerja.     

***     

Tiap hari di rumah ayah Lesmana kian hangat, bayi mungil baby Al, dari nama Alan telah mencuri banyak sekali perhatian. Sampai-sampai ukiran yang kiri jadi pekerjaan ayah Lesmana terpaksa di hentikan sementara.     

Ayah mencoba membangun gudang di samping rumah supaya suara ketukan dari peralatan kayu ayah tidak mengganggu baby Al.     

Ayah Lesmana kini di sibukkan mengawasi pembangunan samping rumah, ketika mbak Linda datang menyerahkan handphone kepadanya.     

"Telepon bapak berbunyi dari tadi," kata asisten rumah tangga tersebut.     

Nama Wiryo tersaji di layar handphone. Lesmana menarik pembungkus tangan, sehingga kain tebal berwarna putih terlepas dari telapak tangannya, di taruh pada lantai tempatnya duduk santai.     

"Ada yang bisa saya bantu?" Lesmana to the point.     

***     

Sepanjang perjalanan menuju pulang nonanya tak banyak bicara dia bahkan tak bicara ketika memasuki Mansion.     

Melihat Asisten Mansion tersebut tengah sibuk menyiapkan makan malam dirinya dan suaminya. Aruna mendadak tak jenak.     

Setelah mandi dan tertangkap segar, buru-buru perempuan tersebut menuju dapur.     

"Biar saya saja yang menyiapkan makan malam," kata Aruna meminta ijin agar diperkenankan.     

"anda bisa membantu saya, tapi saya yang akan memasaknya," jelas Aruna, menarik bibirnya sehingga tersaji senyum simpul.     

Pada sela-sela kesibukan menyiapkan makan malam, sang bibi melempar kalimat tanya, "nona tidak capek, baru pulang kerja langsung ke dapur,"     

"Istri harusnya begini kan, bi," jelas Aruna menjawab bibi Yuni.     

Bibi Yuni menatap bangga pada nonanya, "saya pikir karena anda sangat muda, anda tidak mau repot-repot di dapur. Terlebih anda nona yang punya segalanya," bibi Yuni masih menggoda Aruna pada caranya mengupas beberapa bahan makanan.     

"kata siapa aku punya segalanya. Kadang aku merasa tak jenak, karena suamiku terlihat berbeda ketika di luar sana, dia tak peduli padaku. Padahal di rumah ini dia menjadikan aku tuan putri," mendadak arah pembicaraan Aruna berupa curahan hati.     

Bibi Yuni beberapa kali tersenyum mendengar gerutu Aruna tentang tuan mudanya.     

Sampai bibi Yuni pamit Hendra belum pulang. Sudah tak dapat di hitung berapa kali perempuan ini melirih jam yang terpasang di dinding.     

Herry ikut-ikutan meliriknya, ikut khawatir melihat istri tuannya yang mulai murung.     

Supaya hati murungnya teralih kan Aruna memainkan remote televisi. Dia duduk kesal di depan televisi menyala akan tetapi berpindah-pindah stasiun.     

Dan pilihannya tersita pada sebuah berita yang menyiarkan peresmian pusat kota impian, Dream City.     

Obrolan pembawa berita demikian menarik. Pewarta tersebut bahkan membuat panggilan live kepada reporter yang meliput suasana malam Dream City.     

-Indah sekali- batin Aruna, -nanti aku mau Hendra menemaniku datang ke sana- suasana di balik punggung reporter tersebut riuh ramai, sepertinya tempat itu di penuhi pengunjung. Mungkin karena baru di buka secara resmi.     

Mata Aruna melebar, dia duduk lebih tegap. Setelah wawancara live, pewarta memberikan ulasan berita. Dan Aruna melihat sosok suaminya di sana, senyumnya terbit. Dia benar-benar bangga, Mahendra membuat sambutan dan terlihat sebagai pria terkeren sedunia.     

"Herry.. lihat! Herry!" teriak pada Ajudan suaminya yang lebih banyak khawatir seharian ini. "Herry.. suamiku ada di TV," kata Aruna mengacungkan telunjuknya pada layar LCD yang membentang di hadapannya, senyum tersebut membuat Herry lega.     

"iya nona," Herry membalas seruan Heboh Aruna dengan kalimat sederhana. Sambil menggaruk sudut lehernya, -bukan kah tuan Hendra sering muncul di televisi- gumam Herry yang merasa berita di hadapannya biasa saja.     

Tapi, tiba-tiba suasana berubah. Jari telunjuk tersebut turun dan senyum yang terbit hilang.     

Herry kian was-was membaca judul pada berita berikutnya, ajudan ini meraih remote lalu mematikan TV.     

"Pergi kau!!" kata Aruna merebut benda hitam di penuhi angka tersebut.     

Ternyata mata nona -nya sudah memerah, dan wajahnya berubah dari sumringah menjadi kesedihan, teraduk dengan ke marahan.     

"Pergi sana!" nona marah ini mengusir ajudan suaminya. Namanya juga perempuan 'sudah tahu nggak suka dengan sesuatu yang dia lihat, masih saja penasaran'.     

Aruna menghidupkan kembali televisi di hadapannya, berita dengan judul 'Peresmian Dream City, Kehadiran Tunangan CEO Djoyo Makmur Grup mencuri perhatian'     

Dalam narasi yang panjang terdengar beberapa kalimat menyebutkan kata 'si cantik' ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.