Ciuman Pertama Aruna

III-46. Tergenggam Proposional



III-46. Tergenggam Proposional

Aruna menghidupkan kembali televisi di hadapannya, berita dengan judul 'Peresmian Dream City, Kehadiran Tunangan CEO Djoyo Makmur Grup mencuri perhatian'     

Dalam narasi yang panjang terdengar beberapa kalimat menyebutkan kata 'si cantik' pencurian perhatian pada pemotongan pita, ternyata tunangan Mahendra Djoyodiningrat.     

Mata Aruna kian merah dan perempuan ini menangis.     

Herry di rundung khawatir, mengintipnya diam-diam dari kejauhan. Terlihat nonanya berlari ke kamar meninggalkan televisi yang masih menyala.     

Ajudan ini akhirnya berani menampakkan diri, dia kembali meraih remote dan memadamkan sumber masalah. Wajah cerah sekretaris Nana yang melambaikan tangan mengikuti cara tuannya yaitu Mahendra dalam menyapa wartawan memang demikian menjemukan.     

Herry mengacak rambutnya, tak tahu harus bagaimana.     

.     

.     

Satu jam telah berlalu, tak ada tanda-tanda nonanya akan keluar dari kamar.     

.     

.     

Dua jam berlalu hal yang sama masih terjadi.     

Ajudan ini mendekati pintu keramat, sebab isinya bara api kemarahan. Dengan perasaan takut-takut Herry memberanikan diri mengetuk pintu, "Nona.. nona.." tak ada jawaban.     

-mungkin dia masih marah-     

.     

.     

Tiga jam berlalu, sudah jam sembilan malam. Masakan nona Aruna telah mendingin, tuannya juga belum pulang. Yang di kamar konsisten tak mau keluar.     

"nona.. nona Aruna," suara ketukan pintu di layangkan Herry. Berharap istri mungil kesayangan tuannya ini minimal mau makan.     

Kalau Hendra tahu istrnya melewatkan makan, sudah dapat di pastikan Herry ikut kena amukan.     

"nona.. apa nona tidak lapar," Herry pantang menyerah. Mengetuk pintu berulang agar sang nona mau keluar.     

"Minimal nona makan malam dulu," seru Herry.     

.     

Gagal     

.     

"Nona.. menangis butuh energi,"     

"setelah aku menangis biasanya aku lapar,"     

.     

Gagal     

.     

"nona, nanti kalau tuan Hendra pulang.. hajar saja dia. Nah, menghajar orang juga butuh energi, ayolah nona.. keluarlah.. nona belum makan, jangan menyiksa diri" -mati aku kalau dia mogok makan- Ajudan ini kian khawatir jarum jam menuju pukul 22.00.     

Dan tak terhitung banyaknya Herry mengetuk pintu kamar untuk membujuk Aruna.     

Herry menyerah, memilih menghubungi tuannya. Menceritakan kejadian yang dia hadapi.     

.     

[Apa lagi sekarang? Kenapa mogok makan segala?!] Hendra terdengar marah besar. Dia benci Aruna yang suka begini tiap kali mengajukan protes padanya. Padahal ini berbahaya di mata Hendra yang memahami riwayat kesehatan istrinya.     

[Dobrak saja kamarnya!] Hendra kian bersungut-sungut mendengar alasan Herry yang tak mampu membujuk perempuan di balik pintu kamar terkunci.     

Tapi setelah mendengar alasan kenapa istrinya marah, lelaki bermata biru tersebut terdiam sejenak, tak habis pikir hal-hal macam begini bisa mengganggu mood-nya.     

[Ya tuhan.. apa dia tidak sadar yang di beritakan oleh media belum tentu kenyataan]     

[Tapi,] Herry ikut menyalakan Mahendra [kenyataannya anda belum membuat pengumuman tentang pembatalan agenda pertunangan. Dan nona mengetahuinya] kata Herry yang terdengar lelah sendiri.     

[Kenapa kau membela istriku dari pada aku?] Hendra protes, ungkapan Herry seolah ikut-ikutan menyudutkan dirinya.     

[Biar aku telepon istriku, semoga dia mau mengangkatnya]     

[Anda tidak pulang tuan?] Herry lebih berharap tuannya pulang, lelah menghadapi sendiri dilema mengatasi perempuan marah.     

[Aku masih di jalan, perjalanan pulang, malam Minggu begini jalanan padat. Aku tak yakin bisa sampai dengan cepat]     

.     

.     

Aruna masih sesenggukan, dia mengutuki dirinya yang tak bisa dandan dan tak bisa secantik atau seanggun sekretaris suaminya.     

Bahkan ketika benda-benda mahal itu sudah terbeli dirinya tak mampu mengaplikasikannya dengan sempurna, boro-boro sempurna sekedar terlihat baik saja tidak.     

Pikirannya kacau, membuat ruang pikirnya di penuhi dugaan yang sama kacaunya. Mungkin kah dia cuma layak di sembunyikan?. Tak layak di bawa ke hadapan publik atau di perkenalkan secara resmi seperti kedekatan Hendra dengan kak Tania atau kini Hendra dengan Anna.     

Sejak dulu Aruna memang jarang di izinkan ikut dalam agenda kerja Mahendra. Terutama semenjak kejadian awal pembangunan Dream City.     

Kata tanya menghantuinya, -Apakah standarku sekedar jadi tempat pulang? Layaknya simpanan?- gumam Aruna dalam hati.     

Dalam pergulatan batin, Aruna mendapati handphonenya berdering. Herry pasti telah membuat laporan pada atasan. Aruna malas mengangkatnya. Dia berniat mogok menemui suaminya, kalau perlu menghukum pria itu.     

-Biar saja, sekali-kali biar tahu rasa- Perempuan ini seolah mau menguji sejauh mana dirinya penting di mata Mahendra.     

.     

Sejenak kemudian dia bangkit, setelah risih mendengarkan panggilan bertubi-tubi muncul di layar handphone senyapnya. Pesan ancaman Hendra juga sama ngerinya.     

Aruna ingin menenangkan diri, mungkin menghirup udara malam mampu memenangkan.     

"Herry," panggilnya pada ajudan Mahendra yang tertidur di sofa.     

"nona??" Ajudan ini terlihat semeringah. Bangkit dan langsung menyambut kehadiran Aruna.     

"antar aku ke rumah Ayah, aku mau tidur di rumah Ayah Lesmana,"     

"Hei.. hei.. kalau anda datang ke rumah ayah anda semalam ini, dengan muka bengkak seperti itu. Aku yakin Ayah Lesmana akan berpikir yang tidak-tidak," Herry mencoba menenangkan gejolak hati sang nona.     

"kalau begitu, antar aku jalan-jalan,"     

"Okey, tapi..??" Herry sedang merenung, "sepertinya tuan akan datang,"     

"Maka dari itu, aku tak mau bertemu dengannya,"     

"Tuan benar-benar khawatir dengan Anda.."     

"Kau mau mengantarku atau tidak??" desak perempuan yang moodnya sedang dalam keterpurukan.     

"kalau enggak mau, ya sudah! aku mengunci diri di kamar saja," Aruna terkesan kian manja. Dilematik sekali bagi Herry.     

Ajudan ini luluh meraih kunci mobil, "Asal nona mau makan akan kuantar ke mana pun nona mau,"     

"iya.." sergah Aruna berjalan mendahului Herry.     

***     

"Sayang.." suara Hendra terbit setelah gendang telinganya menangkap gerakan. Pintu Mansion baru saja dia buka. Lelaki bermata biru merenggangkan dasinya dan mulai melepas jasnya.     

Ada senyum manis terukir pada wajahnya. Senyum yang terbit setelah dirinya berhasil mendapati meja makan penuh hidangan menggodanya.     

"Sreeek,"     

"Herry??" panggilnya, pria ini berjalan menuju ruang tengah yang menyajikan televisi mati dan ternyata suasana tampak hening di tinggalkan penghuninya.     

Dia melihat handphone Herry tergeletak di sofa.     

"Ke mana mereka?" Hendra mencoba mendorong pintu kamar, dan benar dugaannya, sang istrinya tidak ada.     

Hanya menyisakan selimut berantakan dan tisu berserakan.     

"Yang benar??, Dasar Aruna! Bisa juga dia menangis sampai seberantakan ini?" bekas-bekas duka masih tersaji di hadapannya, entah bagaimana pria ini sempat menerbitkan senyumnya, sebelum melempar jas ke atas ranjang kemudian duduk sejenak dan mulai melepas kaos kakinya.     

Sambil membuat panggilan kepada sang istri yang tampaknya melepas penat sejenak seperti kebiasaannya ketika marah.     

Namun, ada yang aneh. Mata biru memfokuskan pupil matanya. Mendengar lamat-lamat sesuatu yang tak seharusnya tertangkap.     

Secara mengejutkan Mahendra bangkit dari duduknya, secepat kilat dia berjalan, kemudian memilih berdiri di balik pintu yang terbuka sejengkal sejak awal. Hendra terdiam di sana, di balik pintu. Matanya mengembara menerka bayangan hitam yang kian nyata di matanya. Ya, di luar sana tertangkap sesuatu yang seharusnya tidak ada.     

[Hallo] sapaan istri Mahendra terdengar sangat malas.     

[Sayang. Kamu di mana?!] Kaku dan dingin.     

[Aku jalan-jalan sama Herry,] tanpa melihat wajahnya Hendra tahu perempuan ini sedang marah, mungkin mulutnya mencucuh.     

[Tak usah pulang malam ini] kata-kata Hendra aneh.     

[Berikan handphone-nya pada Herry] suara perintah Hendra bahkan terdengar dingin.     

[Kau marah padaku??] Aruna merenggut, mendengarkan ucapan Hendra.     

[Berikan handphone-nya pada Herry!]     

[Hendra harusnya aku yang marah padamu. Bukan kamu!] Perempuan ini protes pada suaminya yang berbicara dengan nada mencekam.     

[Ya! Aku salah. please dengar kan aku!] Suara Mahendra tertangkap sangat serius dan dia menakutkan kalau sudah seperti ini. Mirip sekali dengan gaya bicara kakek Wiryo.     

Ketika Handphone tersebut berada di genggaman Herry, Hendra membuat kalimat perintah, [bawa istriku ke Djoyo Rizt hotel, kalian tidurlah di kamar tinggalku. Jangan bawa istriku kembali ke mansion ini] Herry tahu gaya bicara ini. Intonasi tanpa bisa di tolak.     

[Iya Tuan] jawab Herry menuruti perintah.     

[Apa istriku sudah makan?]     

[Saya sedang menunggunya makan malam]     

[Oke] balas singkat Hendra menutup panggilannya.     

Setelah lelaki bermata biru mematikan handphonenya. Dia mundur ke belakang, meraih lampu tidur yang berdiri cantik pada atas nakas. Lampu menyala itu mati seketika, di tarik tangan Mahendra. Sejalan berikutnya lampu tidur tergenggam secara proporsional.     

Sambil melangkah, tangan kanan itu mencoba membuat gerakan membuka pintu perlahan-lahan.     

Pria bermata biru melempar senyuman pada siluet hitam ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.