Ciuman Pertama Aruna

III-48. Penenang (Menikah+)



III-48. Penenang (Menikah+)

Mendengar ini mata Hendra kian menyala. "KATAKAN PADAKU SIAPA KELEMAHANKU!!" Hendra tersulut marah, ungkapan implisit tersebut mengawali pergulatan mereka.     

Mahendra melayangkan tinjunya. Tidak meleset, akan tetapi sesaat berikutnya perutnya mendapatkan hantaman dari kaki penyusup.     

Ada suara keluhan yang keluar. Sebelum benar-benar seimbang, kaki tersebut kembali menerpa lengan Mahendra yang spontan mata biru melindungi wajahnya.     

Hendra mencoba lebih awas menangkap tangan yang berusaha menjotosnya. Dan si jumper yang tertangkap tangannya, ditarik sekuat tenaga oleh Mahendra sehingga ia terbanting ke lantai.     

Sebelum Hendra berhasil menguncinya, penyusup itu meraih sesuatu dan memukul kepala Hendra. Ternyata dia meraih bongkahan kaca yang masih separuh utuh.     

"huh huh" nafas lelah keduanya beradu. Hendra limbung, memberi kesempatan pesaingnya bangkit, melepaskan diri lalu berlari secepat mungkin menuju tepian kaca pecah.     

Ketika Hendra berusaha bangkit, si penyusup menatap Mahendra yang di terpa pecahan kaca, kini serpihan kaca menaburi tubuh mata biru dan dia yang merasa bisa meloloskan diri melambaikan tangan, "sampai jumpa,"     

Penyusup dengan wajah robek memaksakan senyuman aneh, "Lain kali aku bakal lebih jeli," Hendra menyeimbangkan diri tapi terlambat, "mendatangi targetku ketika dia meringkuk di kamar sendirian," salam terakhirnya sembari melompat keluar.     

Deg     

Dada Hendra seolah di tepa bongkahan kaca sekali lagi, menemukan kesimpulan terkait istrinya yang jadi sasaran.     

Sembari dia mengikuti cara penyusup, Hendra melompat membuntuti larinya. Sialnya manusia tanpa identitas ternyata punya teman di luar sana. Teman dengan motor yang siap menyambut kedatangan jumper, mereka melaju, melesat bagai kilat kala si jumper telah berhasil melompat pada jok belakang.     

Hendra tak bisa mengusung pengejaran berikutnya. Dia memilih kembali ke mansion. Berjalan gontai mencari kunci mobil serta handphone.     

Selepasnya terdengar mobil berderu, keluar dari garasi. Mata biru meninggalkan mansion-nya.     

.     

.     

Dan sepanjang perjalanannya mobil tersebut melaju kesetanan. Jalanan padat yang terseji di gubah layaknya Medan permainan game, menyusup ke sana kemari tanpa peduli. Dan melesat tak kira-kira, apalagi ketika naik ke atas jalan tol Hendra tak ingat lagi berapa kecepatannya. Pria Bermata biru di rundung kemarahan dan rasa khawatir teraduk-aduk jadi satu.     

Tampaknya ada yang mulai salah pada dirinya, dada menderu membutuhkan obatnya.     

Setelah sampai di Djoyo Rizt Hotel, suami Aruna berjalan menuju lift dan naik ke Lantai teratas. Salam sapa Herry yang lekas berdiri melihat kedatangan Mahendra di abaikan begitu saja.     

Bahkan kata "Tuan??" menyambut kedatangannya juga di abaikan, termasuk pertanyaan, "Apa yang terjadi pada Anda?" kembali tak mendapat tanggapan. Hendra terdiam tak bersuara bahkan tak menatap Herry. Pria ini nyatanya memilih menaiki tangga menuju kamar istrinya.     

Ketika pintu terbuka mata biru berjalan lebar mendekati ranjang tidur. Hendra berdiri lama mengamati istrinya.     

Ruangan bernuansa abu-abu mengusung ranjang yang terlapisi selimut tebal berwarna putih. Ada perempuan tersaji di sana, lunglai damai memeluk guling. Indah tapi lemah.     

Hendra tak mengedipkan matanya ketika Lutut melangkah menaiki ranjang. Pria ini di penuhi keringat, nafas pendek ngos-ngosan dan noda darah berceceran pada punggung lengan. Noda itu masih basah hanya di balut kain putih se-kenanya, Hem yang membungkusnya sama saja penuh noda dan terkesan koyak oleh sayatan.     

Dia menyibak rambut terurai lembut, tipis, menutupi sebagian wajah perempuan.     

"Hen.. hari ini aku tak mau.. kau membuatku marah.." katanya lamat-lamat dengan mata masih melekat. Sembari merasakan sentuhan sang lelaki yang tanpa di duga menaiki tubuhnya.     

Mata Aruna seketika membuka lebar. Saat bahu mungilnya di tarik hingga merebah dan pria di hadapannya mengikat kedua tangannya kuat-kuat. "Hen.." kata tanya ini tak sempat terucap, sebab sang pria sudah menautkan lumatannya.     

Aruna tak bisa bahkan tak mampu menggerakkan kakinya telah tertindih pria yang saat ini memejamkan mata berusaha menikmati istrinya.     

Mata Aruna melebar dan kian membuka tatkala tahu kondisi wajah suaminya. Pelipis, sela-sela rambut Mahendra basah oleh keringat.     

Aruna mencoba mencari-cari pemahaman di balik mulut yang tersumpal oleh desahan nafas lelaki yang seolah memburu sesuatu, atau mungkin sedang mencari ketenangan? Entah-lah.     

Tiap kali tautan itu terlepas dan Aruna mulai melempar ucapan 'sepenggal kata' lelaki yang mencengkeramnya akan mengusung desakan menyumpal mulut Aruna dengan lidahnya.     

Hal yang sama terjadi beberapa kali sampai Aruna memilih terdiam, ketika lelaki ngos-ngosan tersebut menatapnya menjauhkan wajah barang sejengkal, dan mengamatinya tanpa kedipan.     

Aruna pasrah di antara mata awas mencari pemahaman.     

Dalam diamnya, mata coklat tersebut melirik ke segala arah berupaya menangkap keanehan.     

Ada apa dengan Mahendra? Terkena apa baju suamiku? Koyak, kotor, dan robekannya melukiskan serpihan-serpihan.     

Dia hanya mampu bergulat menggunakan ruang pikirnya yang minim informasi. Fatal sekali, ketika pergulatan itu kian pelik setelah rasa basah hadir pada tangan yang terjerat sang suami. Terdapat tetesan air dari balik kain putih yang mengusung semburat merah di permukaannya. Kain yang mengikat sekadar dan seadanya pada lengan kanan sang suami.     

Kain itu semakin menunjukkan keberadaannya ketika lelaki bermata biru yang kini di atas tubuhnya membuat gerakan melepas hem lengan panjang.     

Aruna tak kuasa melihat luka dan sebuah memar di perut Mahendra.     

Belum juga perempuan ini sempat bertanya, si lelaki mendahului maksud dari isi hati Aruna, "tidak ada kalimat tanya, sembuhkan takutku," suara Hendra menyergap. Perempuan ini seolah melihat Mahendra kala malam pertama dirinya tinggal di rumah induk. Pria yang bertahan ketika di tangkap dan di bekuk oleh kumpulan bodyguard kakek Wiryo. Pria yang senyumnya menakutkan dan pandangan matanya mengerikan.     

Kondisi ini kian menyesakkan dada Aruna.     

Belum sempat Aruna memikirkan cara menenangkan. Lelaki bermata biru menarik baju sisi depan istrinya, hingga butiran kancing baju tidur bermotif buah Cherry tersebut lepas berhamburan. Bagian yang membungkus dua lingkaran pun di tariknya hingga putus tak bersisa.     

Mahendra seperti singa kehausan. Meneguk sesuatu yang sebenarnya tak berisi. Dia melakukan itu berpindah dari sisi satu ke sisi satunya.     

Rintihan perempuan dengan tangan dan kaki terikat hanya berupa kalimat pereda, "tenangkan dirimu.. tenang.. tenang.. Hen.. lihat aku.. lihat mataku.."     

Aruna tahu tangan kanannya terlepas sebab sang pria membuat tarikan pada selimut, berupaya menenggelamkan tubuh mereka.     

Ketika hal itu terjadi, berarti Hendra melepas bagiannya dan menarik sisa kain yang membungkus Aruna.     

Sempat tertangkap kesusahan, lelaki bermata biru tersebut meloloskan ke dua tangan istrinya.     

Aruna yang terbebas mengusung sentuhan pada lengan kokoh. Dia mengelus tubuh di penuhi aura tak terkendali tersebut menggunakan tangan mungilnya dengan lembut, selembut mungkin.     

Sayangnya belum cukup meredakan, sebab mata biru memilih menghunjamkan sesuatu tanpa aba-aba.     

Rintihan Aruna terbit bersama cengkeraman kuat pada kedua lengan kokoh yang kini tertusuk kuku-kuku perempuan melenguh.     

"Hendra Slow.. Slow..!" Aruna mencoba memperingatkannya. Meraih tubuh di atasnya dan berupaya mendekapnya.     

"Lihat aku.. lihat!" pinta perempuan yang tak mau menghentikan caranya menenangkan, "Please.. Hen.. Aaargh! please..!"     

"Hendra.. aku mencintaimu.. Aargh! kau boleh menikmatiku.. aku tahu Aargh.. kau.. Aargh.." perempuan ini mencoba dan terus menerus mengusung gerakan meraba punggung menenangkan.     

Dia tahu Hendra sedang kesulitan mengendalikan Emosinya. Aruna tak tahu apa yang menimpa suaminya. Dirinya hanya sedang mengupayakan penenang.     

Entah, Mahendra kadang punya rasa ketakutan yang sulit di mengerti.     

"Aargh.." keluhan ini kian menjadi-jadi, sejalan dengan perbuatan mata biru yang enggan mereda.     

Hingga pria tersebut melepaskan hasrat biologisnya ke dalam rahim sang istri.     

Dia yang tak berani menatap mata istrinya, akhirnya menenang. Mahendra, si lelaki yang memiliki kepribadian unik ini memilih melebur diri dengan meringkuk di sisi kiri sang istri. Mata biru masih memeluk, erat dan tak mau melepas tubuh perempuan yang harumnya kian mengakibatkan kecanduan.     

"Ada apa denganmu?" suara Aruna memaksanya bicara.     

"Kalau aku mengurungmu lagi, apa kau akan lari?"     

Deg     

Tak ada jawaban     

"Akan kubunuh siapa pun yang berani mengatakan kau kelemahanku,"     

Aruna hanya bisa menelan salivanya ketika mendengar kalimat ngeri tersebut. Dia yang bicara sedang merengkuh dan menyusupkan wajahnya pada leher perempuan mungil.     

Tubuh besar dan kokoh Mahendra terkesan sedang menempel pada guling kecil.     

"Hendra.."     

"Hem.."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.