Ciuman Pertama Aruna

III-51. Izin Sakit



III-51. Izin Sakit

Aruna menghentikan langkahnya mendekat, ketika wajah Hendra meringis beberapa kali, "tak apa sayang, ini tidak sakit kok," masih saja dia bicara demikian untuk menenangkan istrinya. padahal Aruna yang kini sudah menjelma jadi perempuan segar sebab habis mandi, memilih berdiri tegap dari jarak jauh agar tidak melihat luka Mahendra.     

"Tolong lebih cepat, istriku tidak menyukai ini, "kata Hendra pada dokter Martin.     

Terlihat sekali dokter Martin kembali membuat suntikan di seputar luka Mahendra, dan Aruna memutuskan menyingkir. Berdiri menepi di seputaran jendela kaca milik lantai tertinggi, dia bisa mengamati atap-atap gedung lain. Sang perempuan berupaya mengalihkan pikirannya dari suara menyiksa yang di loloskan mulut Mahendra.     

Keluhan tersebut beberapa kali terbit, yang kemudian berganti tawa. Tawa sang dokter memberitahu bawa Mahendra harusnya ke rumah sakit daripada menyuruhnya datang ke tempat ini. Jadi Hendra perlu menanggung risikonya. Hanya memanfaatkan bius lokal untuk robekan karena sayatan belati.     

Lama Aruna berdiri di tempat yang sama, sampai sang pria datang memeluk tubuhnya dari belakang, "Aku sudah selesai dan baik-baik saja.. ayo sarapan," Hendra merundukkan kepalanya menghisap rambut baru keramas Aruna.     

Pria ini Auranya berubah total tidak tampak seperti semalam, dia kembali hangat dan menyenangkan. Menarik tubuh dan tangan Aruna menuju pentry.     

Ketika Aruna sudah duduk, sang dokter mendekat memberikan resep yang harus di minum Hendra seminggu ke depan untuk memulihkan kondisi, "Suami anda sering lupa minum obat, jadi saya titip pada Anda," katanya yang kemudian merapikan peralatan dan undur diri pulang.     

Kini giliran Aruna mendapati lelaki keras kepala yang mendekatkan mulutnya ke atas mangkuk sup ketika menyendokkan makanan. Aruna buru-buru bangkit mendekat dan membantunya, "lepaskan sendoknya," kata Aruna merebut sendok Hendra dan lelaki ini mendapatkan suapan istrinya.     

Dia tersenyum bahagia, istrinya begitu perhatian.     

"Mengapa kamu serapi ini," di tengah-tengah suapan Aruna meluncurkan kalimat protesnya. Dia melihat outfit Hendra adalah setelan kemeja dan celana untuk pergi ke kantor, hanya saja dasinya belum terpasang.     

"Aku perlu mengunjungi meja kerjaku," katanya sambil meraih gelas menggunakan tangan kirinya.     

"Dalam kondisi seperti ini harusnya istirahat, toh sudah terlambat," pria yang sedang meneguk air mengurai senyum, sebelum kembali menyentuh wajah istrinya.     

"Aku baik-baik saja, percayalah dan kamulah yang harus istirahat," kata Hendra, sejak pagi menyadari tubuh istrinya lebih hangat dari pada biasanya.     

"mana mungkin aku berani masuk, aku sudah terlambat banget, aku bahkan belum berani minta izin," kata Aruna memutar matanya tanda pasrah.     

Lalu senyumnya terbit. Tampaknya kepala Aruna yang menemukan ide cemerlang, "Hen.. tolong kamu yang menyampaikan izinku, please.. mau ya.." katanya meletakan mangkuk kosong kemudian meraih jemari tangan kanan suaminya.     

"aku harus ke kampusmu? Begitu?" Mahendra belum tahu maunya sang istri.     

"Tak perlu, hanya cukup datangi penanggung jawab magangku," Aruna menjelaskan bahwa dia magang di kantor Mahendra, dan pria yang kerah kemejanya di ikatkan dasi oleh tangan sang istri tertangkap memasang raut wajah tak percaya. Berulang kali dia mengucapkan kata, "Benarkah sayang?" sebelum akhirnya mengecup pipi dan bibir perempuan untuk berangkat ke kantor DM Group di lantai 5.     

Hendra menghilang di balik pintu lift, sembari mengusung permintaan kepada Herry untuk menjaga sang istri dan melarang Aruna pergi dari tempat ini, kecuali atas izin yang dia berikan.     

Herry mengawasi Aruna seperti robot hidup, membuntuti Aruna ke mana pun gerak langkah sang nona, bahkan ketika Aruna menuju kamar untuk istirahat, Herry ikut ke dalam memastikan Aruna berbaring nyaman dan tenang baru dia rela keluar.     

"Herry,"     

"Ya nona.."     

"Aku ingin makan salad buah, tapi mayones nya sedikit, dan buahnya lebih banyak yang berwarna kuning dari pada warna lain," Herry menggaruk sudut lehernya mendengar permintaan penuh sarat ini.     

"saya usahakan," katanya mundur membuka pintu kamar berniat keluar.     

"foto di belakang meja kerja suamiku sudah beres?" kata tanya Aruna di sambut anggukan dan perempuan ini tersenyum cerah bahagia.     

***     

"Karena masa hukuman kita berdua sudah selesai, aku dan Nakula punya rencana hebat untuk kita semua," ungkap Oliver mengirim gambar kapal pesiar ke grup chatting anak-anak Tarantula yang sedang memenuhi agenda rapat dari Gibran.     

Gibran yang baru datang diikuti Rey, menatap Oliver dengan raut wajah tak senang.     

"Bisakah kita bahasa hal semacam ini lain kali," katanya memungut perhatian yang lain.     

Putra pertama Rio Diningrat ini duduk di kursinya. Dan meminta seorang sekretaris menyiapkan slide show presentasi yang akan dia pimpin bersama Rey, sekretaris tersebut tertangkap sibuk membuka leptop dan mainkan jarinya di atas keyboard. Sebelum akhirnya menancapkan alat bantu untuk menyorot tampilan ke layar utama yang lebih lebar di hadapan semuanya.     

Perlu di ketahu-i sekretaris itu bernama Gesang, lulusan luar negeri yang bandel ini akhirnya di takluk kan sang kakak.     

"Baik lah Rey, aku ingin kamu sendiri yang memimpin laporan pencapaianmu," Ucap Gibran, akan tetapi tangan kanannya tiba-tiba terangkat, minta dihentikan sesaat.     

Gibran yang punya pembawaan dinamis, bertanggung jawab serta cenderung dewasa membuat apa pun yang dia isyaratkan seolah sesuatu yang sangat penting. Gerakan tangannya pun menjadi perhatian tersendiri.     

"Bianca thank you, i'm so happy, finally you want to come," Gibran menyapa seorang perempuan yang duduk di tengah-tengah mereka, perempuan asing karena bukan Tiara Sasmita Salim, melainkan Bianca Nalendra putri paman Adam.     

Paman Adam tak pernah sekalipun mengizinkan putra putrinya ikut serta ke dalam hiruk pikuk dan hibuk riuh Tarantula. Anehnya hari ini Bianca putri bungsu paman Adam memenuhi undangannya.     

"I am happy with you too, please guide me," Bianca dengan ramah membalas salam sapa Gibran.     

Bianca baru pulang dari INSEAD (Institut Europeen d'Administration des Affaires) atau Institut Administrasi Bisnis Eropa. Putri Adam meyakinkan ayahnya, dia bisa ikut serta bergabung dengan putra putri Tarantula. Bianca berjanji bisa menjaga diri dan pergaulannya. Bianca berdebat panjang dengan sang ayah untuk sampai di tempat ini.     

Hanya saja ayahnya tidak tahu, termasuk semua orang yang kini duduk mengelilingi meja memanjang pun tak tahu. Bianca sejak kecil tertarik dengan seseorang dan ingin lebih dekat dan inilah caranya.     

.     

Rey diiringi senyum bangga Gibran, maju ke depan mempresentasikan keberhasilannya mengakuisisi sebuah perusahaan yang memiliki canal aplikasi online yang cukup banyak serta menjanjikan sebagai batu loncatan Tarantula mempertahankan diri di era disruption 4.0.     

Perusahaan Anantha yang telah di bidik dua tahun terakhir. Hari ini akan mulai di manfaatkan kapasitasnya secara masif untuk membuktikan ide yang pernah di usung Gibran. Terkait mengurangi konsumsi anggaran untuk memuluskan proyek dengan ikut andil dalam sepak terjangnya pergulatan power structure.     

Dan memilih mengembangkan bisnis baru yang lebih menjanjikan untuk menghadapi gelombang generasi baru, milenial. Meniru sepak terjang CEO Djoyodiningrat yang memanfaatkan masa kepemimpinannya untuk memenuhi value 'independent company'. Kokoh, kuat dan bergerak bebas sesuai kapasitas serta kualitas.     

Itu mimpi Gibran yang kini kian dekat untuk di wujudkan. Gibran lebih bergairah bekerja beberapa bulan belakangan.     

***     

Seorang pimpinan berjalan sendiri menuju ruang yang paling jarang dia kunjungi, produk design.     

Produk design development yang bertugas menganalisis tiap-tiap simbol-simbol yang di gunakan anak perusahaan Djoyo Makmur Grup baik dalam kemasan produk sampai ke bagian tampilan periklanan tiap-tiap marketing tools. Lebih dari menarik, akan tetapi tak mampu menyita perhatian Mahendra. Waktu Mahendra terambil cukup banyak pada tim corporate secretary, mengingat segala data pencapaian dan kemunduran ada di sana.     

Jadi saat CEO bermata biru membuka pintu tim design, bisa di bayangkan betapa membekunya yang di dalam.     

"Ada yang bernama Jou?" katanya. Membuat seseorang atas nama Jou kelabakan, bangkit dan berdiri kaku, tak kalah kakunya dibandingkan patung jendral Sudirman.     

"Kau yang bernama Jou?" kata tanya Hendra menyita seluruh perhatian penghuni ruangan, terlebih dia berjalan mendekati Jou.     

Semua terbungkam tanpa suara. Mengingat hari sebelumnya, Jou tanpa sengaja mengusik mantan istri CEO, atau jangan-jangan masih istrinya.     

Polemik pada tiap-tiap kepala manusia di ruangan Produk design tak terelakkan.     

"Istriku tidak enak badan, hari ini dia izin sakit," kata Hendra menepuk bahu Jou lalu meninggalkan ruangan.     

Desah nafas tak percaya serta sorot mata menghujani Jou yang kini meringkuk lemas, membenturkan kepalanya sendiri ke arah meja kerja secara berulang, benturan ringan tanda penyesalan mendalam yang berakhir di tertawakan rekan-rekan kerjanya.     

"Matilah kau Jou," kata salah satu dari mereka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.