Ciuman Pertama Aruna

III-53. Sudah Jangan Menangis



III-53. Sudah Jangan Menangis

[3 jam sebelumnya]      

"Apa-apaan ini!!" Mata Nana melebar mendapati foto pernikahan Mahendra yang terpajang demikian sempurna di belakang meja kerja lelaki yang digilai.      

Perempuan dengan paras menawan ini menyedekapkan tangan. Sambil berdecak kesal, amat kesal setengah mati. Bagaimana bisa foto pernikahan yang menampilkan Mahendra memeluk perempuan berbalut gaun biru mengembang dari arah samping terekspos demikian besar pada dinding. receptionist     

Sungguh sialan rasa-rasanya, foto pernikahan BlueOceans yang katanya bukan main mewahnya tersebut tersaji nyata di hadapannya.      

Nana berjalan gusar menuju telepon kantor, dia membuat panggilan untuk OB. Sesaat berikutnya dua orang office boy datang menyapa Nana.      

Nana langsung saja mengarahkan telunjuknya pada foto berukuran besar di belakang meja kerja Mahendra. Meminta ke dua office boy tersebut menurunkannya. Lebih parah lagi dia meminta foto itu dibuang secepatnya.      

Ketika menurunkan foto berukuran besar tersebut, salah satu office boy membuat tatapan untuk yang lain. Antara takut menolak permintaan sekretaris Nana dengan pemahaman salah satu dari mereka bahwa benda ini di pasang oleh ajudan utama CEO Hendra sebab kemarin office boy tersebut turut serta membantu Herry memasang bingkai foto berukuran 3R ini.      

Tepat ketika mereka keluar membawa bingkai foto berukuran besar dan melewati Tita sebagai resepsionis ruang kerja CEO Hendra, si office boy mendekat menanyakan keraguan mereka.      

"Apa??" inilah kata yang keluar dari mulut Tita. Dan sang resepsionis meminta mereka untuk menyembunyikan foto berukuran besar tersebut di bawah meja kerja pemanjang miliknya. Tita merasa perlu menyampaikan yang terjadi kepada Herry atau kepada CEO-nya secara langsung. Mengingat istri Pak Hendra datang dan berada di ruangan sebelum benda ini dibawa Herry masuk ke ruang kerja CEO DM group.      

Dan dua orang office boy buru-buru pergi setelah mereka mendapati suara langkah kaki sekretaris Nana. Tita membeku dan hampir tak bisa bernafas tatkala Nana menatapnya lalu berjalan membelokkan tubuhnya menuju meja kerja si sekretaris yang punya hubungan membingungkan dengan pemilik seluruh Aset perusahaan Djoyo Makmur Group.      

Bagaimana tidak? Tita yang selama ini sebagai pengamat dua manusia dengan segala perilaku dan tindakan tanduknya. Tak sekalipun melihat ada hubungan luar biasa yang ditunjukkan pak Hendra. CEO-nya masih terkesan dingin dan bicara secukupnya kepada sekretaris Nana, mirip dengan pola komunikasi yang berlaku antara Tita dan para pekerja lainnya.      

Berbeda sekali saat dia melihat kedatangan Nona Aruna, memang amat jarang berkunjung ketempat ini. Mungkin hanya tiga kali termasuk kemarin. Akan tetapi aura yang tercermin pada raut wajah CEO Hendra seperti berubah 180 derajat.      

"Em.. maaf apa suamiku ada di dalam?" kalimat tanya membangunkan lamunan panjang sang resepsionis.      

Tita mengucek matanya berulang, dia hampir tak yakin dengan apa yang dilihat. Perempuan yang terangkai di kepalanya muncul tepat di hadapannya secara mengejutkan. Begitu juga Herry yang membuntuti perempuan atas nama Aruna dengan setia.      

"E..?? A, Ada.." saking terkejutnya jawaban Tita berantakan. Resepsionis tersebut berupaya menyajikan pelayan terbaiknya, keluar dari tempat duduknya yang nyaman, kemudian mengiringi langkah kaki sang nona menuju pintu sang CEO, lalu membukakan pintu untuk perempuan ramah tersebut.      

Sempat terdengar kalimat 'terima kasih' yang terbit dari mulut Aruna sambil menundukkan sedikit tubuhnya lalu menyusup di ruang kerja Mahendra.      

Sedangkan Herry, Tita menarik tubuh dan mendorong gerak langkah Herry agar kembali ke mejanya.      

Dia memperlihatkan bingkai foto yang mengganggu duduknya sejak tadi, foto berukuran Jumbo yang kini diamati Herry.      

"Hais' sial! Bagaimana benda ini berada di sini?!" Pekik Herry memandangi Tita dengan tatapan tajam.      

"Jangan marah padaku!" Tita protes pendapat tingkah kresekan Herry,  yang secara sepihak menyudutkannya.      

"Minggir minggir, biar aku keluarkan," ajudan ini mengusir tempat berdirinya Tita, dengan raut muka gusar Herry berupaya mengeluarkan foto nona bersama tuannya.      

"Kau harus berterima kasih padaku!" Ungkap Tita, "andai Aku tidak tahu para office boy mengeluarkan benda ini dari ruang kerja CEO Hendra, sudah pasti foto ini berada di tong sampah," Tita mengarahkan telunjuknya berulang kepada foto yang kini dipandangi Herry.      

"Kenapa bisa dikeluarkan?? Apa kalian tidak tahu ini foto keramat! request nona Aruna yang jarang membuat permintaan?!" ujar Herry sambil mengusung rasa khawatirnya, "nona Aruna wanti-wanti berulang kali, waktu menyuruhku emosinya sedang buruk pula," Herry khawatir kena kemarahan sang nona yang kini sulit dimengerti kondisi emosinya.      

"Tanya noh, pada sekretaris Nana," Tita melempar ringan pulpen ke atas meja kerjanya, ekspresi tak terima dimarahi Herry.      

"Sungguh konyol perempuan itu," gerutu Herry mengelus bingkai foto yang akan dirinya bawa masuk ke ruang bosnya.     

Sayangnya sang ajudan dilanda keraguan, terbit rasa bimbang yang menyergapnya, hingga ajudan tersebut terhantam rasa gelisah, mondar-mandir di depan pintu.     

.     

"Sayang??" kehadiran Aruna menghentikan diskusi yang terbangun antara Hendra dan Surya. Diskusi asik dua orang eksekutif perusahaan buyar seketika. Konsentrasi salah satu dari mereka terpungut tak bersisa, diambil perempuan yang kini berdiri membawa sepaket bekal makan siang di tangannya.      

Surya berdiri dan tersenyum menyapa Aruna. Sedangkan Hendra, jangan ditanya, lelaki mata biru berhambur memeluk isterinya.      

"Kenapa mendatangiku??" tanya Hendra menarik ringan tangan Aruna, menuntunnya menuju sofa.     

"Kenapa? Memang enggak boleh?" Kalimat tanya ini terbit seiring Mata Sang Perempuan mengamati letak foto yang seharusnya berada di sana namun tak terdapati ada apa-apa.     

"Bukan begitu.. kamu kurang sehat -kan, niatku, aku yang harusnya datang padamu," Aruna sudah diarahkan supaya segera duduk oleh Mahendra. Tapi perempuan ini masih berdiri memicingkan matanya.      

"Kau menyingkirkan sesuatu dari ruang kerjamu??" tanya Aruna yang secara nyata menampilkan ekspresi tak mengenakan. Mata suaranya juga keras patah-patah.     

Aura perempuan mau menggoyahkan kedamaian tercium dua pria di sekitarnya.      

"Nona," ini suara Surya, "saya duluan, aku jadi kangen Dea," Surya berpamitan tanda kabur, "Nikmati makan siangmu Hen.." kata surya dibumbui senyuman aneh untuk Mahendra.     

"Duduklah sayang, bawa apa untukku??" Hendra meluruhkan diri duduk di sofa,  sejalan dengan caranya mengelus lembut lengan song istri.      

"Nggak mau!" Intonasi yang ditimbulkan dari ucapan Aruna adalah simbol kejengkelan.      

"Hei.. hei.. apa lagi ini? Kenapa tiba-tiba marah?" Hendra kembali bangkit, menatap wajah sang istri dan sempat menyentuh dahinya.      

"Badanmu masih hangat," ungkapan Hendra jelas sekali tanda kecemasan.      

"Tak usah mengalihkan pembicaraan! Kemana foto kita??" Aruna melempar kesalnya, "apa foto pernikahan kita tidak memiliki estetika pada ruangan hitam putih tak berwarna ini?!" Mata Aruna menghujam tajam kearah Mahendra. Padahal isi otak lelaki di depannya kosong melompong tak tahu apa-apa.      

"Foto pernikahan?" Hendra memijat  pelipisnya wujud kebingungan.      

"Mentang-mentang warnanya biru.     

Kau singkirkan?" Aruna menyadari suaminya lelaki perfeksionis, termasuk masalah warna, "bukankah warnanya memiliki unsur yang selaras dengan kornea mu!" ucapan berikut bukan sekedar gerutuan, melainkan omelan dari mulut perempuan yang tersulut emosi. Tanpa jeda nafas ketika sedang bicara.      

"Sungguh aku tidak.." Hendra menelan ucapannya melihat mulut tertekuk dan mata berkaca-kaca.      

"Kemarilah.. kemarilah.." Hendra mendekapnya, menariknya perlahan agar mau duduk, "Nanti.. biar aku cari tahu kemana perginya foto yang kamu sebutkan," Hendra mencoba merenggangkan jemari tangan Aruna yang mengikat kuat pegangan tas bekal makan siang untuknya.      

"Aku maunya sekarang! Fotonya harus ada di sana sekarang," Aruna mengacungkan jari telunjuknya ke arah tempat foto tersebut harusnya terpasang.     

"Kita makan dulu, nanti pasti aku cari," mata biru yang berhasil melepaskan ikatan tangan sang istri mengusung gerakan membuka bekal makan. Betapa senangnya pria ini mendapati bento buatan Aruna lucu sekali.      

Gumpalan nasi tiga kepala ninja dengan ekspresi marah, tersenyum dan tertawa riang tersaji di hadapannya termasuk lauk pauk yang tersusun dengan manisnya.      

Bento hasil kolaborasi Aruna dengan asisten chef resto Djoyo Ritz Hotel.      

"Aku maunya sekarang!" Perempuan di samping Mahendra menangis dan mengucek air matanya seperti anak kecil.      

"Ya Tuhan.. Kenapa akhir-akhir ini kamu uring-uringan terus?" Hendra mengelus rambut Aruna.      

"Fotonya bisa kita cetak lagi, kalau perlu semua dinding ruangan ini ku isi wajahmu," Hendra mengelus rambut sang istri berulang kali. Mereda agar berhenti menangis.      

"Nggak mau.. pokoknya nggak mau.. aku maunya sekarang!" Dia yang kini diamati suaminya masih merengek menampilkan ekspresi cengeng luar biasa.      

"Sejak kapan istriku jadi manja dan cengeng seperti ini, sungguh! aku hampir tidak mengenalimu," Hendra yang awalnya cemas jadi kurang nyaman dengan keanehan Aruna yang kian ada-ada saja. Walau lelaki bermata biru berulang kali mengatakan kata 'nanti' toh dia akhirnya membuat panggilan kepada Herry. Minta agar segera datang menemuinya.      

Sudah tak tahan mendengar tangisan perempuan yang terkesan tanpa latar belakang yang layak untuk jadi bahan tangisan.      

"Sudah jangan menangis..     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.