Ciuman Pertama Aruna

III-54. Definisi Kegeraman



III-54. Definisi Kegeraman

Sudah tak tahan mendengar tangisan perempuan yang terkesan tanpa latar belakang yang layak untuk jadi bahan tangisan.      

"Sudah jangan menangis.." dia yang biasanya tidak sabaran kini menekan segala egoisnya. Mendapatkan perempuan satu ini sulitnya bukan main, bahkan hal terpedih yakni sekedar jadi yang kedua pernah dialaminya.      

Maka dari itu Hendra tampak layaknya pria yang tak bisa berbuat banyak hal untuk mengimbangi kemarahan istrinya, cemburu kelewat batas maupun berbagai gejolak emosi tidak pasti yang akhir-akhir ini di tunjukkan Aruna.     

Lelaki bermata biru mengelus punggung istrinya berulang agar meredakan tangisan.      

Tak lama Herry menyusup masuk membawa foto yang tadi di tangisi Aruna. Herry menyembunyikan dirinya dan wajahnya di balik foto 3R. Hal tersebut sontak membuat Aruna berdiri dan mendatangi Herry.      

Aruna bergerak mendekat membuat Herry berusaha menyingkir, Aruna juga memutar arah langkahnya mengelilingi bingkai foto dan hal serupa juga dilakukan Herry. Pria ini memutar dirinya supaya tetap tersembunyi di balik foto.      

Melihat kelakuan dua orang mirip anak SD yang sedang bermain adu umpet, Hendra tak bisa menahan gelitik tawanya.      

"Nona maaf jangan marah padaku," Herry mencoba mengurai ucapan maaf supaya si nona tidak marah.      

"Kau bilang kau sudah meletakan sesuai permintaanku! Kenapa baru di bawa?! Aku sudah keburu marah-marah tahu!" Aruna tak bisa mengendalikan kejengkelannya.     

"Nona aku punya rahasia, kenapa benda ini baru kubawa masuk, tadinya sudah aku pasang, percaya lah," Herry merendahkan suaranya, dengan sedikit berani dia mendekati nona-nya.      

Padahal di ujung sana ada pria yang memicingkan mata, sejalan kemudian mengerutkan dahinya. Dia tak suka ajudan yang memiliki tubuh tinggi tersebut menekuk punggung, menunduk lalu berbisik di telinga istrinya.      

Hendra berdiri menampakkan wajah kesal, mana mungkin Herry layak terampuni kala ajudan tersebut seolah akan mengecup pipi sang istri.      

Di balik kejadian yang terkesan menjengkelkan bagi Hendra, ada Ajudan yang sedang memberikan informasi tentang kejadian dibuangnya foto yang kini ada di tangannya oleh sekretaris CEO Mahendra.      

Herry mengangguk beberapa kali ketika Aruna meminta konfirmasi, "jadi Tita juga tahu?" Herry mengangguk.      

"Begitu rupanya," Aruna menekuk mulutnya.      

"Kenapa dia begitu?" pertanyaan ini tidak ada jawaban. Sebab ajudan yang berada di depan Aruna sudah ditarik kerah bajunya oleh Mahendra dari belakang.      

Herry ditarik mundur sampai Hendra merasa puas setelah ajudan tersebut menampakkan raut muka canggung dan menjauhi tubuh mungil Aruna.      

"Apaan sih?!" Aruna tidak terima melihat tatapan intimidasi Hendra kepada Herry. Anehnya Aruna malah berjalan mendekati Herry.      

"Letakkan saja fotonya, Ayuk kita keluar dari sini," Aruna menarik foto tersebut dan meletakkannya sembarangan. Kemudian meminta Herry mengikutinya keluar dari ruang kerja Mahendra.      

"Kita kemana nona.. raut muka tuan tidak bagus," Herry melangkah cepat sesuai ritme yang diusung Aruna. Membuntuti perempuan marah memang sangat menyusahkan.      

Sesuai dugaan Herry dibalik caranya berjalan mengiringi sang nona. Tuanya dari belakang tak kalah gusar melangkah cepat ikut mengawasi mereka.      

"Nona.. Tuan Hendra mengikuti kita," Herry sama sekali tak jenak, dijadikan tameng Aruna dan tampaknya akan di musuhi tuannya.      

"Kamu nggak suka menjagaku?" Aruna sempat menghentikan langkahnya, "Kalau nggak suka, sana pergi! pada tuanmu yang menyebalkan itu," Herri yang turut menghentikan langkahnya, menggelengkan kepala berulang tanda dia akan menuruti permintaan Aruna.     

Sedangkan Mahendra, perlahan mendekat, menyusup diantara Aruna dan Herry, "Sayang kenapa kamu marah lagi? Apa salahku?" Gaya komunikasi Hendra berbalik 180 derajat.      

Seperti lelaki yang pasrah kalau saja akan ditimpa hujatan  istrinya.      

Tita yang kini berada di antara tiga manusia, memasang telinganya lebar-lebar mencuri dengar. Bagi Tita baru kali ini dia melihat tontonan unik di balik meja kerjanya yang membosankan.      

Herry menyelamatkan diri mundur dan mencoba menghilang supaya dia terbebas dari keadaan layaknya bola liar yang dilempar suami istri sedang dirundung perselisihan.      

Nyatanya mata Aruna menyorot tajam pada Mahendra. Sejalan dengan cara Aruna membalik tubuhnya supaya menangkap sempurna keberadaan Hendra. Sang suami kini ciut sendiri, perempuannya mendekat lalu menarik dasi yang tadi pagi dia pasangkan, leher Mahendra tertarik sampai mendekati wajah istrinya, "Jika kamu penasaran kenapa aku marah? Pergi menghadap cermin dan tatap dirimu sampai kau sadar," ini sarkas seorang perempuan kepada pria yang secara nyata mendefinisikan kegeraman, si pria perlu ngaca alias tahu diri.      

"Sampai kapan kau akan bermain-main dengan dua perempuan," ujar Aruna berikutnya, dia melepas dasi Mahendra, dan sempat tertangkap gerakan merapikan kembali kerah baju suaminya.      

Sebelum perempuan ini kembali membuat panggilan untuk Herry, yang tadi sempat menggeser paksa berdirinya Tita untuk bersembunyi di kolong meja resepsionis tersebut.      

"Herry keluar! Kau pikir aku tidak tahu, ikut aku!"      

"Bruak" Herry menyadari dirinya tertangkap basah langsung berdiri lupa dia berada di kolong meja.      

Tita menggigit bibirnya supaya tidak tertawa, ketika mendengar Ajudan itu mengatakan, "Auuu.. kepalaku," dan mengusap-usap ubun-ubunnya berulang.      

.     

.     

"Huuh," lelaki bermata biru menghembuskan nafas panjang, setelah rayuannya agar diizinkan mengikuti sang istri di tolak mentah-mentah.      

"Hai Tita, menurutmu aku punya salah apa?" Tita mengerjapkan matanya berulang ketika CEO Hendra secara mengejutkan berbicara nonformal kepada dirinya untuk pertama kali.      

"Ee.. itu.." Tita gugup tak ketulungan, "istri anda sepertinya sedang kecewa, mungkin bisa dikategorikan cemburu," dia bicara dengan nada hati-hati.      

"Cemburu??" Hendra memutar arah bola matanya. Dia mencoba menerawang pemahaman.      

"Anna? Mungkinkah karena agenda pembukaan dream city kemarin? Tapi kenapa hari ini lebih marah lagi?" Masih saja pria ini menelusuri jalan pikiran istrinya yang kian mustahil dicerna.      

"Apa anda tidak tahu," suara tita merendah, "foto keramat permintaan istri anda sempat di.." ucapan ini tertahan di tenggorokan. Sekretaris Nana datang mendekati punggung Mahendra. Tita kian kaku, aura perempuan ini kian lama kian menakutkan.      

"Di.. ??" Tita hanya mampu menggelengkan kepala kala Mahendra mengkonfirmasi ucapannya.      

"Hendra.., kamu tak istirahat? Aku sudah menunggumu makan siang, sayang sekali aku tidak melihatmu menuju resto, jadi ini aku bawakan untukmu," ujar Nana menatap penuh perhatian pada mata biru. Sambil mengangkat paket makan siang chief kenamaan hotel ini.      

"Aku sudah mendapatkan makan siangku," Hendra bergerak meninggalkan Tita, perlahan menuju pintu ruang kerjanya di buntuti Nana.      

"Apa ada sesuatu yang harus aku selesaikan?" ucap Hendra, secara wajar menanyakan seputar pekerjaan.      

Nana belum memberikan jawaban, dia malah menatap perilaku Mahendra dengan mata membulat lebar dan tangannya mengepal.      

Hendra sedang mengangkat bingkai besar foto pernikahan BlueOceans, membawanya menuju sepasang paku yang masih tertancap pada dinding belakang meja kerjanya. Lalu pria tersebut berjalan melingkari meja kerja dan berdiri tepat di hadapan mejanya guna mengamati apakah foto yang ia pasang di dinding dengan tangannya sendiri telah persisi.     

Sempat mengurai senyuman, lelaki bermata biru kembali mendekati lambang pernikahannya dan membuat sedikit gerak menggeser sudut di sisi bawah.      

Kembali ke mode pengamatan, sang pria menerbitkan senyumannya untuk kedua kali. Karena foto yang terpasang tampak demikian sempurna.     

Tanpa menyadari ada yang menyimpan bara api di dalam diri. Mahendra malah duduk kembali ke sofa putih dan meja yang menyajikan bento istrinya.      

"Kau mau? Istriku bawa dua bekal, karena dia marah,  hehe," Hendra sempat terkekeh mengingat kemarahan istrinya, "dia tinggalkan bento bagiannya begitu saja," Hendra membuka bekal buatan Aruna yang masih sempurna, dia tawarkan kepada Nana.      

Dan dirinya sendiri kembali menikmati kotak bekal makanan miliknya yang ingin di lahap tanpa sisa.      

"Sejak kapan kamu merubah selera makanmu?" Nana meletakkan paket makan siang yang dia siapkan untuk Mahendra. Kemudian menarik buatan tangan Aruna dan diperhatikan dengan seksama.      

"He.." perempuan dengan dandanan sempurna tersebut tersenyum kecut menyunggingkan bibirnya.      

"Entah-lah.. Mungkin dulu aku tak suka hal-hal baru di luar kebiasaanku, tapi sekarang, sepertinya aku makin terbiasa mencoba banyak hal baru menyenangkan darinya," Hendra meraih botol minum bermotif beruang kuning yang tertempel tulisan tangan menarik perhatian 'mas Hendra ku sayang, ingat obatnya diminum' Hendra kembali menyajikan lesung pipinya dia baru menyadari ada kota kecil berbentuk tabung yang ketika dibuka menyajikan obat dari dokter pribadinya tadi pagi.      

Lama Hendra menatapnya kumpulan obat di atas telapak tangannya, baru kali ini dirinya merasa nyaman mengonsumsi obat-obatan yang seharusnya menjadi jalan kesembuhan.      

"Nana, aku memintamu menarik undangan pesta tiga tahunan perusahaan," ucapnya seiring menelan sekumpulan obat di mulutnya.      

"Aku rasa tak perlu dilakukan," ungkap perempuan ini berdiri.      

Hendra mengerutkan keningnya, mendengar ungkapan ambigu Nana.      

"Istrimu tak bisa marah lagi," kata Nana meninggalkan Mahendra.      

-setelah hari ini-     

.     

.     

[Mas, maaf ku harap anda tidak panik ...      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.