Ciuman Pertama Aruna

III-55. Izinkan Meminang



III-55. Izinkan Meminang

"Istrimu tak bisa marah lagi," kata Nana meninggalkan Mahendra.     

-setelah hari ini-     

.     

.     

[Mas, maaf ku harap anda tidak panik, mobil yang membawa Herry dan istri anda di bekuk para bodyguard tetua Wiryo] suara Andos amat lirih sepertinya dia memberitahukan informasi berikut sambil mengendap-ngendap.     

[Apa??] Mahendra langsung berdiri, membuat panggilan kepada Nana berniat meminta seseorang menyiapkan mobil untuknya. Sayang sekali Nana tak bisa dihubungi, [Kau tahu di mana Herry dan Istriku mereka bawa?]     

[Rumah Induk] jelas Andos yang terkesan buru-buru menutup panggilannya.     

Kini Mahendra berjalan gusar, dia paling khawatir kalau kakeknya sudah ikut campur dalam kehidupannya.     

Lelaki bermata biru berjalan menuju ruang kerja sekretarisnya Nana, akan tetapi perempuan tersebut konsisten tidak ada, Hendra men-take over dengan menyiapkan sendiri kebutuhan mobil.     

Lelaki bermata biru memanfaatkan pelayanan Djoyo Rizt hotel.     

***     

Mobil yang membawa Aruna bukan lagi di kemudikan oleh Herry. Ajudan tersebut sudah disingkirkan sejak mobil ini tersudut oleh tiga mobil sekaligus.     

Aruna dan Herry baru saja keluar dari Djoyo Ritz hotel ketika mobil mereka dibuntuti oleh tiga mobil lain suruhan opa Wiryo.     

Tatkala mobil melintasi jalanan sepi, secara mengejutkan tiga buah mobil mengunci laju Bentley yang dikemudikan Herry.     

Aruna sangat takut, pikirannya melayang-layang ke segala arah perempuan ini memenuhi ruang an di kepalanya dengan berbagai spekulasi paling ngeri, ketika tubuh Herry ditarik keluar oleh dua orang sekaligus.     

Dia berusaha membuat panggilan.     

Namun, ketika Herry seolah mengenali mereka, bahkan menyapa mereka, Aruna tidak lagi merasa khawatir.     

Perempuan tersebut baru sadar ada campur tangan Opa Wiryo, setelah Herry mengatakan, "Kenapa orang-orang tetua meringkus saya? Apakah saya melakukan kesalahan?" Aruna malah lebih tenang, padahal Herry kian panik saja.     

.     

.     

Gerimis menyapa kala butiran air jatuh secara perlahan pada sela-sela kaca mobil yang ditatap Aruna. Gerbang menjulang panjang telah terbuka. Air mancur di tengah taman indah rumah induk masih menari seperti dulu. Hanya saja gemerciknya kalah dengan rintik hujan yang perlahan kian melebat.     

Pintu mobil Aruna dibuka tatkala berada tepat di depan altar yang menyajikan daun pintu ukiran khas Jepara, berdiri megah.     

Nona tersebut langsung disambut oleh seseorang berpakaian hitam yang memegang payung lebar. Langkah pertama Aruna tepat di bawah payung yang warnanya sama dengan mobil yang dia tumpangi.     

Perempuan ini mendongak menatap rumah induk. Benarkah dia harus secepat ini kembali ke tempat yang sempat ia takuti.     

Semua definisi tentang rumah ini terlanjur salah kaprah di benah Aruna, baginya tempat megah ini menceritakan perjalanan melelahkan terkait dibelenggu dan terbelenggu, asing dan terasingkan.     

Ragu-ragu putri Lesmana dengan diiringi bodyguard tetua menyusuri ruang demi ruang yang menyajikan lorong panjang khas rumah induk. Aruna sudah menduga dia akan dibawa kemana.     

Hal yang sama seolah terulang kembali, tapi kali ini dia tidak lagi berdiri ketika menghadap tetua pada ruang kerjanya.     

Aruna di minta duduk pada sofa dan lelaki berusia senja yang kini duduk pada kursi roda bergerak secara otomatis mendekatinya.     

Wiryo terlihat menjentikkan jari telunjuk kemudian disambut pengawalnya. Sebuah kertas di serahkan pengawalnya kepada Wiryo.     

"Benarkah kamu menarik gugatan perceraian?" suara ini mendesah dengan patahan kaku khas para lelaki keluarga Djoyodiningrat. Aruna tak lagi seperti dulu, dalam artian; amat sangat takut terhadap ekspresi dan cara bicara kaku ala Opa Wiryo termasuk Mahendra. Tampaknya perlahan-lahan putri Lesmana kian paham, bahwa tiap-tiap lelaki Djoyodiningrat memang punya pembawaan demikian.     

Istri Mahendra mengangguk ringan.     

"Sudah tahu resikonya?" kembali tetua yang sedang berupaya ramah, melempar pertanyaan. Sesungguhnya kata tanya ini tidak ada ramahnya sama sekali. Terlalu to the point tanpa basa-basi.     

Kali ini Aruna menggeleng.     

Ada yang mendesahkan nafas, "Aku menikahkan Mahendra agar dia mau kembali tinggal di rumah ini, bagaimanapun juga Hendra tetaplah Mahendra Hadyan Djoyodiningrat, dia cucu kami satu-satunya, penerus dan harapan terakhir keluarga yang tak memiliki banyak garis keturunan. Sesulit apa pun mengendalikannya tetap saja dia satu-satunya harta yang paling berharga bagi Djoyodiningrat," Wiryo bergerak meletakkan sesuatu di atas meja, tepat depan Aruna duduk.     

Ternyata benda yang diletakkan oleh tetua Wiryo adalah undangan pesta tiga tahunan yang berisi pertunangan Mahendra dan Anna.     

Wiryo meletakkan lembaran memikat sebab Desainnya menarik dan berkelas, mencolok ketika diletakkan begitu saja.     

"Aku ingin dia bertunangan, bukan karena tidak percaya kamu akan kembali. tapi, orang tua ini sudah tak sanggup lagi menerima kenyataan bahwa kian lama keluarga ini kian tak punya harapan bisa mendapatkan penerus yang mampu menenangkan masa tua kami," Wiryo melempar resahnya dan menerbitkan gundah gulana ke dalam hati Aruna. Sangat pelik mendengar kata Ini demi kata yang diusung opa Wiryo, terlebih kembali menatap nama Mahendra bersanding dengan Anna.     

.     

.     

Mobil hitam legam dikendarai dengan laju tak terkendali, pengemudinya kesetanan. Mahendra melaju menuju rumah induk secepat dia bisa. Kakeknya bisa berbuat apa saja. Paling takut kalau lelaki tua yang selalu punya cara ampuh mengintimidasi orang untuk mengikuti kemauannya mampu menggoyahkan komitmen Aruna tinggal bersamanya.     

"Sial!! Sial!" Dia yang berkendaraan terlihat beberapa kali memukul setir mobil tak berdosa.     

.     

Baru saja pintu gerbang terbuka, mobil Hendra mengitari taman dengan laju kencang hingga suara berdecit dan cipratan air hasil rinai hujan menyakitkan bagi pendengar dan mengkhawatirkan mata yang melihat.     

Sesaat berikutnya mobil seolah berhenti mendadak, decitannya masih saja menggundah kan dada. Sedangkan pengemudinya keluar begitu saja, mengabaikan, bahkan mendorong pengawal yang berupaya memberinya payung penuduh hujan.     

Hendra berjalan cepat setengah berlari, "dimana istriku!" dia melempar ujaran penuh emosi kepada bodyguard tetua yang tertangkap bersantai di seputar ruang kerja atasannya.     

Para bodyguard yang sempat melenakan diri yakni dengan memainkan handphone, buru-buru menegakkan badan.     

Kumpulan pengawal tersebut tak ingin ribut dengan tuannya mereka melirik pintu kerja tetua Wiryo, dan Mahendra lekas membukanya.     

.     

"Andai Aruna masih ingin menyelesaikan kuliahnya atau menikmati masa mudanya, tak masalah. Tidak akan ada yang memaksamu lagi," Yang tadi hatinya gundah kini lebih bisa lega mendengarkan tutur kata opa Wiryo, "Tidak banyak yang sanggup hamil dan melahirkan di usia muda, apa lagi kakek tahu kamu ingin fokus dengan kuliahmu, akan tetapi memberikan cicit secepatnya tak bisa kami tawar lagi,"     

-tunggu apa maksudnya ini?- Aruna merasa mulai digiring menuju sebuah pemahaman. Dadanya mulai berdetak, tak jadi jenak.     

"Untuk itu izinkan Mahendra meminang Anna, ... ...     

.     

.     

.     

Novel saya di bawah GRATIS TIS!! NO GEMBOK, NO CUAN==>     

1. IPK : Inilah Perjanjian Kita, Antara Aku Dan Kamu     

2. CPLM : Mr. CEO, Please Love Me     

3. YBS: You Are Beauty Selaras     

4. S2A: SUAMI SEMPURNA: ALTHAR     

Dengan gaya menulis berbeda dimasing masing novel.     

INFO : Instagram @bluehadyan, grup WhatsApp 081216380697     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.