Ciuman Pertama Aruna

III-57. Aurograf



III-57. Aurograf

Hendra menautkan alisnya, membaca lebih lama dengan aura keseriusan. Aruna yang penasaran kembali mendekati tubuh Mahendra, ikut menamati sambil membacanya.      

Presiden Direktur Utama Djoyo Makmur Group, pihak satu atas nama Wiryo dan pihak kedua atas nama Mahendra.     

"Anda serius dengan keputusan yang anda buat?" Hendra masih enggan membuat goresan. Dia melirik kakeknya.      

"Tidak ada pilihan lain untuk lelaki yang sudah tua, dan tak mampu berjalan," ungkapan Wiryo sejalan dengan dirinya memperhatikan Aruna.      

Dan seketika Aruna canggung bukan main, walau dia sejujurnya belum mengerti kenapa dirinya ditatap seperti itu.      

"Sejujurnya tanggung jawab sebesar ini tidak bisa hanya dipikul lelaki seorang diri," Wiryo masih mengamati Aruna. Dan Aruna kian paham arah pembicaraan Wiryo kemana.      

"Apakah anda merasa saya kurang layak mendampingi Hendra? Sehingga anda berpikir akan menikahkan Hendra dengan perempuan lain?" Aruna mencoba to the point tak lagi menyembunyikan apa-apa yang dia ingin sampaikan. Aruna bahkan dengan percaya diri menatap Wiryo.      

"Ya, sehingga tugasmu lebih ringan" kata Wiryo tak kalah gamblangnya.      

"Tiap-tiap pemimpin, perlu memiliki perempuan yang sama tangguhnya, ketika dia tidak bisa tampil di publik dengan sempurna maka sebaiknya berdiam diri di rumah, aman, nyaman dan tanpa gangguan," ucapan Wiryo kembali menggusarkan hati perempuan mungil tersebut.      

"aku rasa Anda salah," kembali Aruna berucap dengan kalimat tandas.      

Hendra menarik bibirnya sebuah simpul lurus berkesan, sambil melempar pandangannya, ia menamati keberanian istrinya.      

Aruna sangat membanggakan ketika dia berani berbicara seperti ini.      

"pemimpin bukan sekedar membutuhkan perempuan yang bisa tampil di hadapan publik, lebih dari itu semua aku meyakini setiap laki-laki butuh tempat pulang yang nyaman dan menuduhkan, itu kebutuhan utama kalian, benar -kan?" Aruna memicingkan matanya, dia benar-benar sedang beradu argumen dengan Opa Wiryo.     

"andai Oma sukma tidak memiliki kemampuan meneduhkan, aku yakin anda sudah melepasnya dari dulu, hidup Ini bukan sekedar tentang otak dan pikiran, hati yang kering bisa berakibat fatal termasuk gejala psikologis," Hendra membulatkan matanya mendengar ucapan Aruna, dari mana perempuan polosnya bisa berkata seperti itu.      

Akhir-akhir ini emosinya naik turun gaya bicaranya pun ikut naik turun, ia kadang sangat manja, sesaat kemudian sangat menyebalkan, sering menangis dan merengek, terhadap hal-hal yang seharusnya tak perlu diratapi.      

Apa yang terjadi pada Aruna?      

Dibalik semua ucapan perempuan ini, ada yang terpaku tak bisa membuat balasan kata, dan itu adalah Opa Wiryo.      

Dua laki-laki di sekitar Aruna tidak memahami isi hati perempuan ini.      

Setahun tinggal di rumah induk, Aruna sesungguhnya telah membuat banyak pengamatan. Dia bahkan mengamati karakter masing-masing penghuninya. Dia pun mengenal para pelayan, siapa yang suka cari muka, siapa yang penakut, siapa yang penurut, bahkan yang baik atau judes pun dia kenal dekat.      

Aruna menghabiskan banyak waktu di rumah ini, tanpa diizinkan keluar. Untuk itu setiap hari yang dia lakukan tak lain ialah pengamatan. Dia bahkan mengerti nama-nama dari ornamen yang menempel di rumah ini. Naik turun hingga lantai yang tak pernah dihuni orang, lantai ke-4, Lantai yang berisikan peralatan olahraga, nge-gym, kolam renang.      

Atau lantai 3 yang berisikan kamar-kamar para asisten rumah tangga, kamar para  bodyguard, maupun ruangan klinik tempat Mahendra menemui para dokternya. Sebuah kastil yang aneh.      

Sekarang ketika dia di dorong Opa Wiryo, terkait kemampuan tampil di depan publik. Opa Wiryo belum menyadari bahwa Aruna tahu Oma Sukma jarang mendampinginya. Oma memang keluar, tapi ia keluar untuk memenuhi undangan dari yayasan amal Djoyo Makmur Grup yang dikelola perempuan anggun paruh baya tersebut.      

Oma Sukma lebih banyak di rumah, menemani putrinya yang jarang bicara. Dan tersenyum cerah menyambut kedatangan Wiryo yang dinginnya bukan main.      

Nenek anggun itu dengan sabar merangkai ucapan yang halus menenangkan, terlebih ketika raut muka suaminya buruk mirip Garfi, kucing paling pemarah di dunia.      

Jadi, Aruna bisa men-skak  Wiryo tanpa berkutik lagi. Perempuan mungil ini urut ikut-ikutan cara bicara Mahendra menggunakan kata anda ketika berdebat dengan opa Wiryo.     

.     

"boleh aku minta waktu, aku perlu memahaminya sebelum tanda tangan," ungkap Hendra setelah membolak-balik dokumen tebal di hadapannya.      

"waktu untuk apa? Tidak ada kandidat lain yang akan menandatangani dokumen ini, Kau goreskan penemu sekarang maupun besok hasilnya tetap sama," ujar Wiryo.      

-Ah' benar juga- Hendra hampir tidak sadar dia tidak punya pilihan selain menandatanganinya. Dirinya penerus satu-satunya.     

Setelah memutar penanya, Hendra akhirnya membuat gerakan merangkai Aurograf[1] di atas kertas berlogo timbul keemasan lambang Panthera pardus[2].      

Aruna yang turut mengamati, baru sadar ternyata logo timbul abstrak di balik resepsionis lantai 5 atau pada beberapa sisi kantor pusat DM group adalah lambang kepala hewan tersebut.      

Setelah usai membuat goresan kedua, mata biru menutup dokumen tebal berlogo ke emas lalu mengusap lembut bagian atasnya.      

Tangan kanan yang dia gunakan mengusap tiba-tiba berpindah di perut Aruna, Mahendra membuat ucapan penuh kehangatan kepada perempuannya.      

Putri Lesmana spontan memerah, entah rasa apa yang tersusun pada hati lalu mempengaruhi otaknya. Aruna ingin cepat-cepat hamil.      

Dia ingin memenuhi harapan keluarga ini.      

Pada langkah keluar dari pintu ruang kerja tetua Wiryo, Sang Perempuan memeluk lengan laki-lakinya. Lengan yang tidak terluka di dekap erat dengan elusan ringan.      

"kita kemana setelah ini?" kata Aruna bertanya mengikuti langkah kaki Mahendra.      

"Kau tidak ingin mengunjungi kamar kita dulu?" ungkap sang pria menawarkan, sambil berjalan ke arah lorong menuju ruang tengah tempat tangga mengarah ke lantai dua kamar mereka berada.      

"Em.. setelah aku pikir-pikir, ternyata aku merindukan tempat tidur empuk super king," ungkap Aruna menebarkan senyuman cerah di wajahnya. Pikirannya melayang pada kasur yang empuk melebar dengan bed cover putih bersih bermotif bunga lili dan sedikit berkilau, mungkin bahannya ialah sutra.      

"Kira-kira, Apa yang kita lakukan ketika berada di kamar?" ini kalimat Mahendra.     

"Nostalgia, aku kangen laciku yang lupa ku bawa pulang isinya (berisi lembaran uang saku yang terabaikan). Ah' baju-baju mahalku juga," kata Aruna bersemangat. (Tak perlu membeli baju dengan harga selangit hingga menggetarkan dadanya)      

"Kenapa otakmu  isinya standar," Hendra menghina secara tiba-tiba.      

"Apa? Kau bilang apa??" Aruna melepas tangan Hendra kasar.     

"di dalam kamar itu, Kita seharusnya fokus pada proses," ungkapan Hendra sangat implisit, perempuan disampingnya menautkan alis, "proses membentuk perut gendut berisi bayi, sebelum kebohonganmu terungkap," yang bicara tersenyum mesum.      

"Ah.. otakku isinya memang standar," Aruna mengutuk dirinya sendiri.      

"betul..," Hendra berbangga dirinya mendapatkan persetujuan.      

"Tiga kali dalam sehari berlaku mulai hari ini -kan?" mata biru terang-terangan membuat tagihan.      

"Isi otakmu hanya seputar itu," hina Aruna berlari cepat menaiki tangga meninggalkan lelakinya. dan buru-buru membuka lebar pintu ukir Jepara yang meninggi ke atas.      

"Hei.. kau sudah janji," Hendra mengejarnya.      

*     

Perempuan berekspresi datar keluar dari persembunyian, "Sesuai prediksi ku" dia yang bicara dengan nada lambat ini, menatap ayahnya.      

"Aku sudah menuruti penawaranmu, apa kau bisa kembali menganggapku seorang ayah seperti masa mudamu?" Wiryo menggerakkan kursi roda otomatis nya berbalik ke arah sumber suara.      

"Aku tidak pernah menganggapmu orang lain, kau saja yang selalu menganggapku anak perempuan yang malang dan sakit-sakitan, heheh sakit psikologi," perempuan ini menarik bibirnya, bukan tersenyum atau tertawa, melainkan ekspresi kenestapaan, "benar kata menantuku, hati yang kering bisa berakibat fatal termasuk gejala psikologis, anda yang membuatku begini, ketika aku sembuh, anda masih saja merasa bersalah, sehingga anda lupa aku bisa berubah," Gayatri menyadur kalimat Aruna sebelum meninggalkan Wiryo  yang termenung di dalam ruangan kerjanya sendirian.      

.     

.     

[1] Aurograf adalah tanda tangan. Arti lainnya dari aurograf adalah cap jempol.     

[2] Panthera pardus ialah hewan penyendiri dan soliter. Hidupnya di malam hari (nokturnal) serta sangat teritorial. Hewan tersebut dikenal dengan nama Macan Tutul.     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D. Instagram @bluehadyan grup WhatsApp 081216380697     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.