Ciuman Pertama Aruna

III-58. Di Balik Tirai



III-58. Di Balik Tirai

"Isi otakmu hanya seputar itu," hina Aruna berlari cepat menaiki tangga meninggalkan lelakinya. dan buru-buru membuka lebar pintu ukir Jepara yang meninggi ke atas.      

"Hei.. kau sudah janji," Hendra mengejarnya. Membuntuti langkah kaki perempuan yang kini menjatuhkan tubuhnya di atas kasur tebal. Aruna sedang bernostalgia, menikmati kasur empuk yang dia tinggalkan berbulan-bulan hampir setahun mungkin.      

Perempuan ini memejamkan matanya sesaat, tangannya mengipas-ngipas seperti seekor kupu-kupu begitu juga kakinya. Dia yang menjadi kupu berguling-guling ke kanan dan ke kiri. Membuat laki-laki yang mengamatinya ingin ikut-ikutan merebahkan tubuh pada tempat yang sama.     

Hendra, membaringkan tubuhnya di sisi paling kanan, dan tubuh mungil itu akhirnya berguling menubruknya, "kamu rindu kamar ini?" kalimat tanya yang dilempar Mahendra mendorong mata lentik berwarna kecoklatan membuka. Perempuan itu mengangguk sesaat.     

"Apa kau ingin tidur di sini malam ini?" kembali kalimat tanya terbit dari seorang suami kepada istrinya. Kalimat tanya yang dia perhalus, sebenarnya Hendra ingin menawarkan sesuatu yang lebih dibandingkan kata 'malam ini', lelaki bermata biru sangat berharap bisa menawarkan tinggal disini selamanya. Akan tetapi hal itu ia redam, Ia tahu Aruna butuh waktu.     

"aku akan tinggal di sini beberapa waktu, sama seperti janjiku yang ingin mencoba seberapa kuatnya kita untuk bertahan lebih dari 2 bulan," Mahendra tertawa mendengarkan ungkapan Aruna. Kalimat yang tidak sejalan dengan apa yang dilakukan Aruna selama beberapa pekan tinggal bersamanya.      

"kau yakin akan meninggalkanku? Setelah gugatan cerai dicabut? Lalu marah-marah hanya karena cemburu pada Nana?" mata biru masih menyajikan senyuman di bibirnya. Dan Aruna nyengir tak bisa berkata-kata.      

Pria tersebut bangkit berjalan menuju lorong kamar mandi, "akan aku tunggu kamu di mangkok kuah kita," kalimat ini ialah ajakan penuh arti. Aruna terduduk mengamati punggung pria yang menghilang di balik pintu.      

***     

Rumah utama keluarga Diningrat.      

Gibran mendapati tamu perempuan, duduk nyaman di ruang keluarga. Ruang dengan ornamen berwarna gading, karpet halus nuansa cerah menghiasi bagian bawah dari serangkaian sofa yang di jajar mengitari sebuah meja kaca yang di depannya menghadirkan televisi menyala.      

Gibran berjalan lebih cepat menghampirinya, pria itu sempat tersenyum sebelum akhirnya duduk pada sofa tepat di sebelah gadis bernama Syakila duduk.      

Syakila juga melempar senyuman, sayang sekali senyuman ini datar, lebih kepada senyuman penghormatan bukan senyum antara dua pasang kekasih yang akan saling memberi obat penawar rajutan rindu.      

Gibran mulai sadar, harusnya bukan dia yang dipanggil asisten keluarga ketika Syakila mengunjungi rumah ini. Harusnya pemuda yang kini berlari menuju tempat dimana keduanya duduk, lebih tepat diberi kabar oleh asisten keluarga daripada Gibran.     

Gibran melihat binar mata syakila saat mendapati Gesang melangkah menuju ruang tengah lalu duduk di sofa sisi lain. Mungkin benar Gibran duduk bersama syakila pada sisi sofa yang sama. Namun, pandangan mata perempuan tersebut tak pernah luruh kepada dirinya. Jelas sekali ada perbedaan mendasar di sini.      

Saat Gesang pernah melarikan diri dari rumah, karena syakila secara mengejutkan dipaksa bertunangan dengan Gibran, CEO utama tarantula Group tersebut mencoba mendampinginya dengan segala cara. Beberapa kali dia berharap lolos bunuh diri dan Gibran berupaya menjaganya.      

"Aku tinggal dulu kalau begitu," desah Gibran bangkit dari posisi duduknya.      

Rumah mewah tersebut menawarkan banyak sudut yang memberi kebebasan Gesang dan Syakila ngobrol bersama.      

Keduanya menuju sebuah balkon lantai dua yang menjadi milik ruang kerja Gibran. Hal tersebut menjadi pilihan keduanya supaya tidak ketahuan penghuni rumah ini tentang seberapa dekatnya mereka.      

Sayangnya Gibran berada di dalam ruang kerjanya, kelambu putih yang terhempas angin sore menyajikan pemandangan tak menyenangkan, Gibran buru-buru berdiri berupaya menutup jendela tersebut sejalan dengan niatnya memastikan kelambu tak lagi menari menggangu konsentrasinya.      

Sayang sekali ketika pria ini berdiri di balik jendela hal yang tak ingin dia lihat malah membuatnya tak sanggup mengabaikan. Syakila perempuan yang sering kali menangis saat bersamanya (Gibran) dan memandang Gibran sebagai ancaman.      

Ternyata jauh berbeda saat bersama Gesang, syakila menyajikan ekspresi cerah. Mengganggu Gesang yang sedang bermain game dan duduk mendekat pada kursi yang sengaja ia geser tak jauh dari Gesang.      

Tangan gadis itu bahkan melingkar di lengan Gesang,  begitu banyak bicara, entah apa yang ia ceritakan.      

Gibran tidak pernah melihat ekspresi ini sebelumnya, setiap ada agenda bersama syakila gadis itu murung tak banyak bicara.      

"Kamu mengamati apa?" sebuah suara mengagetkan Gibran. Buru-buru jendela ditutup dan gorden di hadapannya Gibran tarik secepat mungkin "Ada orang di balkon? Siapa di balkon," Pria dengan rambut halus berbelah tengah sedang di dorong Gibran supaya menjauh sejauh-jauhnya dari jendela.      

"Hai aku penasaran," lawan bicara Gibran berupaya terlepas dari Gibran.      

"Sudah lah Rey," Gibran memberikan tatapan seriusnya.     

"kenapa marah padaku?!" Rey tak terima, dorong untuk duduk pada kursi di depan meja kerja Gibran membuat Rey tak nyaman, ini paksaan. Dipaksa mengabaikan siapa yang berada di balkon.     

" kamu kesini untuk membahas peluncuran unicorn, iya kan?" Gibran menebak, sesaat kemudian Rey  mengangguk.      

" berikan padaku apa yang aku koreksi," Rey mengeluarkan dokumen-nya. Sesaat berikutnya diraih oleh gibran.      

Sambil mengamati apa yang harus dikoreksi, Gibran melempar sebuah pernyataan, " aku dengar pengawal yang menjadi bawahanmu saat ini sedang dirawat intensif,  apa yang kau perintahkan?" Gibran melirik Rey.      

"Kata siapa?" seolah Rey ogah mengungkapkan kejujuran.     

"Aku hanya ingin memberimu saran, jangan terlalu agresif kepada siapa pun. Ingatlah kejadian di klub malam Heru," Gibran menghentikan caranya membalik kertas dan lebih fokus menatap wajah Rey.      

"Yah, aku selalu mengingatnya, mengingat bagaimana semua orang di tarantula menyalahkanku dan menjadikan diriku kambing hitam atas kejadian tersebut, padahal ada Oliver dan Nakula yang juga ikut taruhan," Rey mengenang bagaimana dirinya di sidang oleh para dewan Tarantula sedangkan ayah Oliver dan Nakula bersekongkol menjatuhkan dirinya serta meminta anak-anaknya menjauh dari Rey. Saat ini Rey sedang di kucilkan. Terlebih Heru kecewa harus membereskan banyak kekacauan di Klubnya. Heru turut kecewa pada Rey.      

"Aku tidak pernah menyalahkanmu secara sepihak," Gibran berusaha mendamaikan hati Rey.      

"Apa gunanya dukungan darimu, kau bahkan tak berdaya ketika tunanganmu masih menyukai adikmu," Rey sempat merunduk lama tidak ingin bertautan mata dengan Gibran, "Menjadi bijak membuat kita terlihat bodoh di mata orang lain," saat ini dengan berani Rey menatap Gibran.      

"Jaga ucapanmu," Gibran mengabaikannya dan memilih untuk melanjutkan pemeriksaan laporan.      

"Apa.. yang aku katakan salah?" secara mengejutkan Rey berjalan cepat dan membuka tirai yang menyajikan pelukan syakila kepada Gesang.      

"Apa yang kau lakukan!" gertak Gibran marah besar, sayangnya perempuan yang memeluk lelaki pada balkon di balik tirai tersebut mengusung gerakan mengecup pipi Adik Gibran, sedangkan sang adik tertangkap meletakkan handphonenya lalu mengusap lembut bagian kepala syakila.      

Di balik ruang kerja Gibran mendorong tubuh Rey, menyerobot tirai dan segera menutupnya, "Keluar kau!!"      

"Itulah kenyataan yang terjadi pada seorang yang selalu berusaha bijak memandang keadaan, nyatanya kalian bertiga akan saling menyakiti terlebih setelah pernikahanmu dengan syakila dijalankan," mendengar ini Gibran terduduk tak berdaya, kembali ke kursi kerjanya.      

"kalau aku jadi kamu aku akan bersaing dengan sehat sebagai lelaki, entah itu adikku sendiri atau orang lain," tukas Rey meninggalkan Gibran sendirian di ruangannya.     

Cukup lama pria ini membuat perenungan, hingga akhirnya dia memberanikan diri meninggalkan kursinya dan membuka pintu menuju balkon, "Syakila ikut aku sebentar," ujar Gibran fokus pada Syakila tanpa melihat Gesang sedikit pun.      

***     

Dia memperhatikanku tanpa berkedip, memperhatikan setiap gerak-gerikku. Bahkan aku merasa setiap inci diriku masuk ke dalam kornea berwarna biru.      

Mahendra berdiri sesaat lalu memegangi tanganku sebelum aku membuat gerakan kaki menaiki bathtub. Dan ketika dua kakiku sudah berada di dalam bathtub pria itu tidak mengizinkanku duduk.      

Syarat makna di memintaku berdiri di hadapannya sedangkan dirinya malah bersimpuh. Cukup mengejutkan, tatkala matanya menggelap dan yang bersimpuh memujaku dengan cara paling gila.      

"Hen! Hentikan please! Aku tidak nyaman melihatmu begini!" aku tidak suka melihat Hendra bersimpuh di hadapanku.      

"ini permintaan maaf ku memperlakukanmu dengan buruk semalam," katanya kembali menyentuhkan bibirnya di sana hingga kakiku bergetar serasa roboh saja.      

.     

.     

"Hen.. aku tak punya tenaga lagi, hentikan atau kamu akan melihatku pingsan,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.