Ciuman Pertama Aruna

III-61. Mencuri Makanan



III-61. Mencuri Makanan

-entah -lah sekonyol apa pun aku  pura-pura tidur saja , sampai mereka pergi- keputusan Aruna sesungguhnya menyiksa diri sendiri sebab dua perempuan tersebut belum juga pergi walaupun dentingan jarum jam kian lama berputar.     

Kebohongan tetaplah kebohongan, sebuah 'sebab' yang membawa 'akibat'. Layaknya fungsi Matematika yang mana mendorong sebuah angka ke dalam lorong berbagai operasi bilangan hingga menghasilkan angka baru. Celakanya angka tersebut bisa jadi lebih kecil dari nilai sebelumnya.      

Sekali kebohongan terungkap maka derajat manusia akan mengalami diferensiasi nilai (penurunan integritas diri). Yang percaya jadi tidak percaya, yang sayang jadi ragu-ragu, yang berharap jadi kecewa.      

Aruna memahami hal tersebut, dia konsisten mendekam di dalam kamarnya, tapi apa daya, perempuan ini masih manusia. Membuat panggilan minta diantar makanan karena perutnya keroncongan.      

Parahnya asisten yang menjawab teleponnya mengatakan, "baiklah nona, kami akan tanya pada Oma Sukma terlebih dahulu,"     

"Lah? Kenapa??"      

"Sebab beliau menginstruksikan kepada kami terkait asupan makanan Anda, Wajib dan harus beliu verifikasi," tandas asisten rumah tangga bagian masak-memasak.      

"Apa? Yang benar saja.." Aruna didera dilema luar biasa, "em.. nanti aja deh makannya, Jangan bilang aku ingin makan ya.."      

"Kenapa nona? Nona pasti sudah lapar?" Kini asisten rumah tangga yang menjadi teman bicara Aruna dilanda perasaan resah.      

"Hehe.. nggak papa, Aku belum mood aja. Nanti pasti aku telepon lagi. Jangan bilang-bilang Oma ya.. kalau aku baru menghubungimu," ada yang menautkan alisnya di ujung sana. Gara-gara mendengar monolog istri tuan muda.      

"janji!"      

"Gimana ya.. apa anda nggak lap-"      

"Udah deh, janji dulu!"      

"iya," asisten yang alisnya tertaut memiringkan kepalanya sebab bingung menghadapi nona muda keluarga ini.      

.     

.     

[Dea.. kirim project desain emailku dong]     

[Ngapain kamu tidak masuk lagi?]     

[Ada deh, yang pasti aku sekarang tinggal di rumah induk, emangnya Hendra nggak memintakan izin pada kak Jou buatku]     

[Lupa kali, suamimu -kan sibuk]      

[Ah' sebal! Selalu saja begitu,]      

[Ngomong-ngomong sekarang project desainnya nggak jadi berkelompok] Dea menambahkan penjelasan.     

[Kenapa begitu?]      

[Nggak tahu ah, Timi nggak jelasin]      

[Ya udah kirim deh, duuuh aku ketinggalan dua hari, aku pasti kalah jauh dari kalian]      

[Kamu sakit apa -sih Aruna?]      

[Sakit.. karena jadi istri terlalu pasrah, pasrah Di apa-apain..]      

[Ngomong apa sih kamu]      

[Nanti kamu akan tahu, Kalau Pak Surya sudah nggak canggung sama kamu]      

Di ujung sana Dea mencoba mencari pemahaman. Tapi gagal, sebab keburu mendapatkan senyum misterius ala Timi serta pandangan mata tak jenak dari karyawan lainnya.      

Gadis berhijab ini lupa menjalankan prosedur operasional terkait mengangkat panggilan pribadi diharapkan menyisih terlebih dahulu.      

Dea nyangir, lalu menurunkan handphonenya. Terpaksa dimatikan, selanjutnya mereka chattingan.      

[Aruna, nanti aku sama Timi berencana mengunjungi surat ajaib]      

[(Emoticon lesu) Ah, iya, gimana nasib Lily, apa kita off -kan' surat ajaib sementara?]      

[Lily nggak akan setuju,]      

[Tapi, jurusan Agus sebentar lagi  mau mengumumkan jadwal magang, aku yakin jurusan Lily juga]      

[Lily rencana tidak akan mengambil jadwal magang tahun ini]      

[Apa-apaan itu! (Emoticon sebal) kita sudah sepakat! saling mengikat janji, mengutamakan kuliah lebih dari surat ajaib]      

[Maka dari itu, kami nanti aku coba membujuk Lily nanti]      

[Bener, maaf belum bisa ikut. Kupastikan turut memikirkannya]      

-Kalau perlu aku akan tanya pada Hendra, solusi apa yang tepat.-      

Secara kebetulan Aruna mengingat ungkapan Hendra ketika ia  menjelaskan perihal value Surat Ajaib, CEO tersebut pernah menyinggungnya, terkait surat ajaib hanya sebatas mainan kumpulan Mahasiswa untuk mengisi waktu kosong. Sewaktu-waktu ketika mendekati akhir masa kuliah mereka satu-persatu mereka bakal meninggalkan startup tersebut, kecuali Aruna dan teman-temannya tahu cara mengelola manajemen perusahaan. (Season II)     

.     

Aruna merasa perlu menelepon suaminya, Hendra lupa meminta izin tidak masuk kerja kepada Kak Jou.      

.     

"Tuan mohon maaf handphone saya berdering berulang-ulang,"      

"Itu urusanmu, Kenapa memberitahuku?"     

"Tolong perhatikan sebentar,"     

"Kamu tidak menyadari saat ini suasana meeting room sedang serius," jawab Hendra untuk Herry yang mendekati tuannya dengan sengaja. Ajudan tersebut tidak kuasa melihat panggilan berulang kali dari sang nona.      

"Nona yang menelepon anda," Herry menunjukkan smart phonenya, sebab smartphone Hendra sudah dimatikan sejak memasuki ruang meeting ini.      

"Kenapa tidak bilang dari tadi?!" kalimat tanya Mahendra merebut konsentrasi yang lainnya, secara mengejutkan dia memungut handphone Herry lalu buru-buru keluar ruangan.      

.     

[Jadi istriku meneleponku karena aku belum sempat mintakan izin tidak masuk kerja?]     

[Iya.. kamu pasti lupa deh] jengkel Aruna.     

[Ya Tuhan. Aku meninggalkan meeting penting demi teleponmu, isinya cuma behini]     

[Sekali-kali, nggak papa -kan'] manja Aruna.      

[Ya.. tidak boleh begitu dong Sayang]      

[Lalu aku harus bagaimana?]      

[Kirim pesan pada Herry menurutku cukup, biar Herry yang minta izin untukmu]     

[Lama-lama kalau aku keseringan di perlakukan seperti itu.. ya udah! aku jadi istrinya Herry saja!]     

[Yah.. ngambek]      

Perempuan di ujung sana mematikan handphone-nya kesal.      

"Huh," terdengar nafas lelah, "Moodnya buruk sekali," Hendra kembali masuk ke dalam ruang meeting, tentu saja tidak terlepas dari sorotan tanda tanya dari para peserta meeting yang lainnya.     

"Istriku, akhir-akhir ini sering kurang enak badan untuk itu panggilannya lebih penting dari apapun," dia menciptakan alasan, "harap di maklumi,"     

"Istri?" suasana kian tak kondusif, mereka yang duduk bersama pada agenda meeting merupakan para pimpinan anak perusahaan Djoyo Makmur Group, dimana monolog sang CEO mendorong mereka merangkai berbagai dugaan.      

Dibalik kejengkelan Anna yang saat ini duduk tidak jauh dari Hendra, seperti biasa sekertaris tersebut berperan sebagai notulen jalannya meeting. mendengarkan meeting sambil menerbitkan gelagat emosi, dongkol luar biasa.      

***     

Langkah kaki kecil itu, berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Merunduk bahkan membungkuk, mencari celah supaya tidak ketahuan manusia yang lainya.      

Bagaimana bisa, nona yang merupakan istri pewaris tunggal sedang berusaha mencuri makanan.      

Sampai juga ia pada pantry terluas yang pernah tertangkap mata. Dia berjinjit di balik caranya memegangi kaleng minuman dan buah-buahan dalam dekapan tangan. kulkas besar nan tinggi tersebut menawarkan es krim  menggiurkan di bagian atas sana.      

"klotak," minuman yang di dekap Aruna jatuh menggelinding, asisten Susi buru-buru membantunya.      

"Huuust," Aruna celingukan sambil meminta Susi tidak mengeluarkan suara, entah itu bertanya maupun menyapa.      

"Susi aku mau bawa ini ke kamarku, kamu bawakan nasi dan lauk secukupnya dalam satu piring saja supaya praktis, kita ketemu di kamarku -ya?" dengan suara rendah Aruna memerintah. Susi sempat bingung melihat polah tingkah nona muda. akhirnya asisten tersebut mengangguk, mau bagaimana lagi, dia harus menuruti perintah majikannya.     

"Oh iya jangan beri tahu-,"      

"Jangan beri tahu apa?" suara mendesah lembut menyusup pada gendang telinga Aruna, ia terlampau tahu intonasi datar suara berikut milik siapa.      

"Hehe.. mommy, apa kabar?" Aruna menunduk merah padam, perjumpaan terakhir dengan ibu Mahendra kurang begitu menyenangkan baginya.       

"Em. Itu, em.." Aruna tidak menemukan kosakata yang tepat untuk merangkai kebohongan berikutnya, "mommy maaf, saya... ..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.