Ciuman Pertama Aruna

III-59. Lembayungku



III-59. Lembayungku

Tatkala cadar rahim  terbuka, Aku lupa bahwa bumi masih berputar pada porosnya, bahwa siang bisa berganti malam, sore bisa berganti pagi, dan dia terkulai letih.     

Lembayung[1] mendorong pujangga kian bergairah menggoreskan pena. Lembayungku  mengobarkan jiwa Adam gentur[2] meratukan.      

Laki-laki memang begini, tidak tahu diri, merenggut apa yang masih bisa dipungut. Mengerat apa yang dapat mengundang serundai[3].      

Kesannya kami-kami yang menundukkan, kenyataannya kami yang di tundukkan.      

Rasa-rasanya nafas pendek tersengal ialah ulah kenakalan. Padahal para pemuja sedang merajut usaha, menghasratkan terbitnya sinar merah persona ratu, selaksa[4] lembayung senja.      

.     

Lelaki yang tak pernah membayangkan dirinya bisa menikmati lantunan detik yang baru saja terlewati, membopong tubuh perempuan berbalut piyama handuk dengan kedua tangannya.      

Kaki telanjang menapaki lantai tapi jiwanya masih mengambang. Hasrat purba manusia yang baru saja beradu, memberinya kenang yang akan menyusup di memori jangka panjang hingga ia menemui diri menua bersama runtuhnya struktur sistem sinyal otak (pikun).      

Laki yang hidungnya masih limbung oleh harum sabun, merebahkan perempuan pada kasur empuk bersulur bunga Lily. Kadang mengilat sesaat, sebab temaram lampu berpadu dengan bahan sutra yang menjadi dasar keindahan.      

Dia rapikan selimutnya, lalu membuat pengamatan mendetail tentang gerak tubuh yang rasa-rasanya memberi deret kode yang ter maknai sesuka hati.      

Kode itu dari alis mengerut dan gelagat tak nyaman sang perempuan, Hendra memaknainya sebagai baju yang tak nyaman, terpakai. Tidur mengenakan piyama handuk memang tiada mengenakkan. Dan sang pria mengganti baju perempuannya. Di bolak balik boneka besar itu, dia masih saja terkulai malas bangun.      

"kamu tidak lapar sayang," yang diajak bicara hanya mengerutkan keningnya, "sayang makan dulu ya.. setelah itu tidur lagi tidak apa, supaya tak sakit," pria ini membujuk lagi. Ternyata perempuannya memberi jawaban, dia menggeleng ringan sangat lamban.      

Walaupun di tolak, akhirnya mata biru memilih berganti baju dan menuruni tangga menuju dapur luas di antara ruang meja makan yang sama luasnya. Pantry besar tersebut menyajikan beberapa asisten rumah tangga, sibuk mempersiapkan makan malam.     

Hendra berdiri di sana dan langsung disambut Anna. Tampaknya kedatangan Hendra selalu menjadi daya magis sempurna bagi perempuan satu ini. Dia tertantang memimpin masak-memasak supaya mendatangkan kesan penuh cinta untuk Mahendra. Terlebih perempuan tersebut mendapati istri Hendra punya bekal Bento andalan yang mampu mengacaukan suasana hatinya siang tadi.      

"20 menit lagi semuanya selesai, nanti aku panggil," ungkapan  Anna memberitahukan proses memasaknya telah sampai dimana saat ini.      

"Aku tidak ikut makan malam di meja makan," kalimat  berikut ungkapan Hendra sebelum akhirnya dia melempar titah kepada salah satu asisten rumah tangga yang dipanggilnya, " buatkan aku sup hangat dengan nasi lemas tapi tak selemas bubur," pemberi titah hampir melangkah pergi, kenyatanya dia berbalik lagi, "oh ya, secangkir minuman hangat beraroma jahe," Hendra baru berniat akan pergi ketika Oma Sukma mengejutkannya dari belakang.      

"Apa itu cukup? Ibu hamil biasanya sangat lapar," Hendra menghormati Oma Sukma, pria tersebut mengurungkan diri beranjak. oma Sukma bergerak melingkari meja panjang masuk ke dalam pantry. "beritahu aku, apa Aruna sudah mulai muntah-muntah?" mata Hendra membulat lebar mendengarkan ini. Tapi tak setajam mata Anna yang mengurai isyarat tak percaya.      

Mahendra memutuskan mengangguk ringan, sejujurnya dia mengutuk-i diri sendiri karena semua ini berupa kebohongan.      

"Tolong buatkan minuman segar dengan paduan rasa mint," sang oma menambahkan request-nya kepada asisten rumah tangga. "Selain nasi dan sup tambahkan buah-buahan masam, Aruna pasti suka," tampaknya bukan ini saja request-nya Sukma. Semakin lama kian bermacam-macam.      

"Oma cukup, perutnya tidak mungkin menampung itu dalam sekali waktu," Hendra menyetop antusiasme Oma Sukma, percakapan siang tadi dengan Opa Wiryo ternyata sudah sampai di telinga nyonya besar rumah ini.      

"Apa Aruna tinggal di sini?" desah Anna melempar pertanyaan pada Hendra. Hendra hanya meliriknya saat lalu pergi.      

"Kamu dan Aruna tidak makan malam bersama kami?" tanya Oma berikutnya.     

Hendra hanya menggeleng kepala, "Aruna kurang enak badan," monolog Hendra sebelum menghilang.      

.     

.     

"Fiuh.. jadi ke pikiran Aruna, pasti tidak mudah mengandung untuk pertama kali, tubuhnya sedang berusaha menyesuaikan diri, aku benar-benar penasaran bagaimana keadaannya, Hendra bilang dia kurang enak badan," meja makan dipenuhi antusiasme dari oma Sukma menceritakan Aruna. Kalimatnya tak pernah putus sambil makan merajut kenangan tentang masa-masa kehamilan.      

Perempuan mungil, istri Mahendra, yang baru kembali mengisi di rumah hening ini menjadi topik perbincangan hangat, entah oleh keluarga inti Djayadiningrat maupun para asisten rumah tangga. Bahkan ajudan yang biasanya masa bodoh ikut-ikutan merajut cerita.      

"Aku ingin menengoknya," kembali kehebohan Oma Sukma terbit di antara kesibukan anggota keluarga hendak menyendok hidangan.      

"Hem.." dehem opa Wiryo minta perhatian, "biarkan dia istirahat, jangan mengganggunya," monolog opa Wiryo mendapat anggukan persetujuan dari Gayatri. Persetujuan untuk pertama kalinya. Tumben sekali Gayatri berkenaan merespon percakapan, walau itu sekedar gerakan mengangguk. Lebih dari cukup untuk mencengangkan yang lainnya terutama Anna, perempuan yang sedang memegang kuat-kuat sendoknya. Andai sendok tersebut tidak berbahan logam melainkan kayu, Sudah barang tentu benda tersebut patah menjadi dua seketika.      

"Aku ingin melihatnya, aku tidak tahan, rasanya penasaran sekali," Oma Sukma mirip anak kecil yang sedang merengek.      

"Besok masih ada waktu, Hendra bilang istrinya tidak enak badan biarkan dia istirahat," kembali Wiryo memberi penegasan.      

"Sebab tak enak badan, makanya sebagai perempuan yang pernah mengandung, aku ingin tahu," Sukma mendadak keras kepala, "mana mungkin Hendra mengerti apa yang dirasakan istrinya," dia yang bicara mengukuhkan keinginannya.      

"Sebab sakit, kamu harusnya memberi waktu istirahat," dan lawan bicara Sukma, sama gigihnya berargumen.      

***      

"bangun.. ayo bangun.. makan dulu," lelaki bermata biru telah berkali-kali membuat usapan pada seputar rambut perempuan. "bangun dulu sebentar nanti tidur lagi,"      

Perempuan terkulai malas perlahan membuka mata, sayangnya enggan duduk. Hendra tak sabar-an mendudukkannya sepihak, dia menyusupkan lengannya ke punggung perempuan, lalu mengangkat tubuh tersebut supaya berkenan duduk.      

Masih dengan cara sepihak, sang pria kembali memaksa perempuannya membuka mulut. Hingga suap demi suap makanan berkuah hangat akhirnya menghangatkan perut Aruna.      

Hendra konsisten memastikan yang sedang mendapatkan asupan mau menghabiskan makan malam sampai mangkok di tangannya tak meninggalkan sisa. Dan makhluk mungil tersebut lagi-lagi menyusupkan tubuhnya meredam lunglai di balik selimut.     

Sang pria ingin segera ikut serta menyusup ke dalam sulur bunga Lily, sayangnya geletak makanan yang ada di atas nakas dan di meja sebelah tak bisa dielakkan, mendorongnya segera membuat panggilan kepada para asisten rumah tangga.      

Sayang sekali ketika pintu kamar diketuk, Hendra pikir yang datang sekedar asisten rumah tangga dengan tujuan merapikan makanan. Nyatanya Oma Sukma hadir di depan pintu, ikut-ikutan para asisten rumah tangga. Sang nenek mendorong tubuh Mahendra yang tak sengaja menutupi langkahnya.      

"Uh.. kasihan sekali, ...…      

.     

.     

.     

[1] Lembayung biasanya terjadi pada waktu-waktu berakhirnya senja. Lembayung itu sendiri memiliki arti merah jingga, sebuah warna yang memang terlihat ketika matahari hampir terbenam. Saat-saat lembayung senja merupakan saat-saat yang memiliki filosofis yang tinggi. Waktu lembayung senja merupakan fase ketika matahari hampir sepenuhnya terbenam.     

Sedangkan Aruna  adalah kusir Dewa Matahari, Surya. Ia merupakan putera Dewi Winata dan Bagawan Kashyapa. Namanya dalam bahasa Sanskerta memiliki arti "yang bersinar kemerah-merahan". Oleh umat agama tertentu, Aruna dipandang sebagai sinar merah yang bersinar di ufuk timur pada pagi hari, sejenis fajar yang senada dengan senja dan sewarna dengan makna lembayung, sinar matahari kemerah-merahan Aruna tepat di saat para pendeta melakukan Suryasewana. Ia dipercaya memiliki kekuatan spiritual. (By Wikipedia)     

[2] Gentur adalah tekun dan dengan sepenuh hati (tentang bertapa dan sebagainya)     

[3] Serundai adalah enak, eco, nikmat, lezat.      

[4] Selaksa artinya sangat banyak. biasa untuk mengungkapkan sesuatu yang tidak terhingga. selaksa peristiwa artiya peristiwa yang bermacam-macam. Selasa lembayung senja maknanya keindahan bak lembayung senja yang tak terhingga macam warna semburat merahnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.