Ciuman Pertama Aruna

III-60. Terlelap



III-60. Terlelap

 "Uh.. kasihan sekali," celetuk Oma Sukma melihat Aruna terlelap nyaman tak berdaya.      

Di balik kesibukan para asisten merapikan bekas makanan nona dan tuannya, ada perempuan paruh baya memperhatikan Aruna lamat-lamat. Beberapa kali mata berbinarnya terbit, " dia sudah minum vitamin?" Hendra terbungkam seribu bahasa mendengar kalimat tanya berikut.      

"He.. hehe," tawa cengengesannya sudah barang tentu membawa kekhawatiran bagi nenek yang mengharapkan kelahiran bayi di keluarga Djoyodiningrat. Mata Oma Sukma  memicing menatap Mahendra.      

Mata itu lebih tajam lagi memeriksa Mahendra, suami Aruna yang ditatap neneknya dengan serius spontan kebingungan, dia salah tingkah.      

"Ada apa dengan tanganmu?" Hendra lupa menutupi bekas luka di tangannya. Parahnya, luka yang baru saja dibalut dengan caranya sendiri tak sesempurna cara dokter Martin.     

"Oh, bukan masalah besar Oma," katanya mendorong nyonya besar Djoyodiningrat. Hendra berupaya mengalihkan perhatian sang nenek.      

Oma yang di dorong ringan supaya segera keluar dari kamar cucunya, jelas tidak terima. perempuan tersebut membuat keributan, ia berdebat dengan cucunya.      

"oma mau lihat Aruna, Hendra!" dia yang sudah berumur main lari kembali mendekati istri cucunya.      

"Kenapa Anda jadi mirip sekali dengan anak kecil??" Hendra memeluk neneknya dari belakang dan menyeretnya perlahan supaya berkenan keluar.      

"Aku tidak mau..!" kata nenek pada cucunya, mereka tanpa sadar sedang mengurai canda tawa dengan dan tarik menarik.      

Pemandangan teramat langka tertangkap terang-terangan oleh asisten rumah tangga yang sedang merapikan meja kamar utama pewaris tunggal Djoyodiningrat. Mereka tak kuasa menahan tawa melihat nenek dan cucu yang uring-uringan. Bahkan main kejar-kejaran. Terakhir selimut aruna ditarik tangan sang nenek.      

Melihat kegigihan Oma Sukma, akhirnya Mahendra yang mengalah.      

"Hen.. jangan berisik," si terlelap mengeluh. Dan dia mendapatkan sentuhan tangan oma Sukma yang dikira Mahendra, suaminya, "Jangan mengganggu lagi, aku capek," perempuan tersebut menyingkirkan tangan sang nenek.      

"Aruna bagaimana rasanya? Pusing -kah? Atau mau sesuatu," Aruna langsung membuka matanya ketika yang didengar bukan suara lelaki melainkan perempuan.      

"Oma.." dia melirik suaminya, Mahendra mengangkat bahunya termasuk kedua tangan tanda pasrah.      

-Aduh mati aku, aku jawab apa ini- Putri Lasmana tidak tahu bagaimana rasanya menjadi ibu hamil. Dicukupkan dengan mengangguk.      

"Ada sesuatu yang kamu inginkan?" kalimat tanya terbit dari mulut Oma Sukma, Aruna baru berniat membuka mulutnya, "Mana vitaminmu? Oma ingin tahu, tak semua cocok dengan vitamin tertentu," Oma berniat memeriksa asupan energi cicitnya, Aruna masih terbungkam berusaha tenang. Padahal sedang dilanda resah yang kian menjadi-jadi, "Sering mual -kah?" lagi-lagi terbit pertanyaan berikutnya.      

-gila.. aku harus jawab apa ini??- dia yang sedang di tanya melirikkan matanya pada mata biru.      

Melihat istrinya yang baru bangun tidur didesak pertanyaan bertubi-tubi, Hendra memutar otaknya.      

"Oma.. sudahlah.. Aruna ingin istirahat," Hendra merengut, sengaja menunjukkan ekspresi kurang suka kepada Oma Sukma.     

"Sebentar aku ingin mengelus cicitku," kata Sukma berbinar menatap perut Aruna, sejalan kemudian menyusupkan telapak tangannya di atas perut Aruna, sambil membuat gerakan lembut tanda begitu sayangnya dia pada bayi yang sebenarnya belum tentu Ada.      

.     

Aruna memegangi kepalanya, tatkala punggung sang nenek menghilang di balik pintu.      

"Ada apa?" tanya Hendra ikut resah mengamati perilaku frustasi istrinya.      

"Kita membohongi banyak orang," Aruna menggeleng-geleng kepala tanda merutuki kebodohannya sendiri.      

"Siapa juga yang memintamu menciptakan kebohongan, tanpa berbohong pun, kupastikan Aku tidak akan menikah lagi," Hendra merapikan selimut perempuan tersebut kini duduk pasrah.      

"Kau pikir aku tidak tahu seberapa ngerinya kakekmu! Opa Wiryo bisa memojokkan ayahku sampai aku terpaksa menikah dan jadi istrimu, kau pun!? Aku tak yakin kamu bisa melawannya," keluhan Aruna lebih mirip dengungan lebah hasil omelan perempuan.      

"Jangan khawatir, sekarang aku akan kian berpengaruh dari pada kakekku," tukas Hendra mengelus rambut istrinya, mengharapkan sang istri segera kembali beristirahat.      

"itu pun terjadi karena aku berbohong.. kamu menandatangani dokumen presiden direktur setelah aku berbohong pada kakekmu," dia  yang dirundung resah sedang menggerutu.      

"Ah' iya, benar juga," kata Hendra santai, "ya sudah besok pagi, usaha lagi," Aruna menautkan alisnya saat mendengar ungkapan ini.      

"Maksudmu??" Aruna mulai mencium gelagat 'ada maunya'.      

"Supaya dapat bayi, ada proses yang perlu dilalui," ungkap pria ini ringan mencuri pipi, "kita tingkat kualitas dan kuantitas usaha, sehingga hasilnya cepat datang dengan sempurna," senyuman itu mengawali tidur seseorang.      

"Huuuh," Hembusan nafas panjang mengundang gelitik tawa lirih dari Mahendra.      

Sebelum akhirnya si perempuan menyusup kembali ke dalam sulur bunga Lily dan di pelukan dari belakang.      

 "Tapi jangan lama-lama kayak tadi.. aku nggak sanggup,"      

"Iya.."      

"Hen.."      

"Hemm..."      

"sepertinya tanggal 5 sebentar lagi,"      

"Semoga kamu telat di tanggal tersebut, aku sudah menandai," balas mata biru.      

"Sungguh?? Semoga.."     

"Hen.."      

"Apa lagi?! oh ya.. panggil aku sayang, mas, Abang atau semacamnya, kenapa selalu memanggilku hen.. hen.. Mulu!"      

"Aku ingin memanggilmu papa, atau ayah, atau Deddy, kalau kita sudah punya bayi,"     

"Oh gitu.."     

"Jadi sekarang aku panggil Hendra aja dulu"     

"Alasan!"      

***     

Ada yang belum terbangun ketika sang Lelaki akhirnya berangkat kerja, telat secara berturut-turut selama dua hari.      

Mobil Mahendra baru melaju setelah pria tersebut mandi secepatnya dan berlari sebisanya ketika sopir sudah menunggu di pelataran rumah induk cukup lama, termasuk Anna yang sengaja bangun lebih awal.      

Sekretaris tersebut berharap bisa bertemu langsung dengan istri Mahendra. Ternyata pagi ini perempuan yang jadi saingan terberatnya masih tak terlihat batang hidungnya.     

.     

Di samping itu, sang oma keluarga Djoyodiningrat konsisten berputar-putar di depan pintu kamar cucunya. Sukma meminta asisten yang biasanya merapikan kamar Mahendra menyusup lebih awal.      

Ketika asisten tersebut keluar, buru-buru diberondong pertanyaan, "apa istri cucuku sakit lagi? Bagaimana keadaannya?"      

"Hihi," si asisten menyuguhkan senyuman aneh, dia bahkan menggaruk sudut lehernya.      

"sepertinya nona hanya lelah," ini jawaban yang keluar dari asisten setelah didesak Oma Sukma.      

"Aduuh, hamil muda memang mudah lelah," kekhawatiran Sukma kian menjadi.      

"Kalau gitu biar aku periksa,"      

"Eh' jangan, jangan.." anehnya asisten yang tampak panik.      

"Kenapa?" Oma Sukma  mendapat tarikan ringan di tangan. Tepat ketika Gayatri datang.      

"Ada apa.. Ma," akhir-akhir ini kalimat yang keluar dari mulut Gayatri sedikit unik, ia menambahkan kata Ma atau Mama ketika memanggil Sukma. Padahal sudah lebih dari 20 tahun mommy Hendra memanggil ibunya dengan sebutan 'Anda'.      

"Aku ingin masuk, tapi Susi melarangku," Susi nama sang asisten rumah induk khusus membantu Aruna sejak perempuan mungil tersebut tinggal di rumah keluarga Djoyodiningrat.      

"Nona belum mandi.." kata Susi, Kelihatan sekali raut mukanya tak jenak.      

"Jam berapa ini?" Gayatri menyusun pemahaman.      

"Jam 10 belum mandi?" Sukma kian gelisah, "apa Aruna alergi Air? Ada juga yang anti air saat hamil muda?! Atau dia benar-benar mengalami bed rest? Sejak semalam tidur Mulu?" mendengar kalimat ini buru-buru Gayatri berupaya membuka pintu.     

"Maksud saya nona.." belum usai kalimat sang asisten, 2 perempuan utama keluarga Djayadiningrat berjalan cepat memasuki kamar dan tercerahkan sudah keduanya.      

"nona.. tampaknya tidak pakai baju," lirih Susi menuntaskan monolognya.     

"Hah!!" Sukma menutup mulutnya.      

Sedangkan sang mommy menyingkap sedikit punggung sang menantu yang tertangkap pulas kelelahan.      

"seperti inikah kelakuan Hendra pada ibu hamil, keterlaluan sekali!!" Sukma menerbitkan dendam membara.      

Aruna menggeliat dan kakinya tersingkap, "bahkan kakinya pun di beri tanda merah, ya tuhaaan.. akan ku hukum dia," celetuk Sukma.      

-tunggu siapa yang memeriksa tubuhku, Hais'!! Sialnya aku- ada yang terbangun karena dua perempuan sedang bergunjing di dekat Aruna. Tentu saja menggunjingkan Hendra, sang cucu yang juga sang putra.     

-entah -lah sekonyol apa pun aku  pura-pura tidur saja , sampai mereka pergi- keputusan Aruna sesungguhnya menyiksa diri sendiri sebab dua perempuan tersebut belum juga pergi walaupun dentingan jarum jam kian lama berputar.      

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.