Ciuman Pertama Aruna

III-50. Premis Terpungut Kembali



III-50. Premis Terpungut Kembali

Wiryo memejamkan mata, mengayunkan lebih kasar celana panjang cucunya, dan lelaki bermata biru mengerjap-ngerjap, membuka matanya dan memutar matanya yang sesaat kemudian malah menemukan kakeknya.     

"Sial," ungkapan ini sempat terbit sebelum akhirnya dia bangkit dan dengan sengaja menunjukkan dada serta punggung telanjang, "Apa anda bahkan lupa di mana batasan privasi?" kata Hendra sembari menutup perempuannya. Aruna dia sembunyikan hingga bagian kepalanya tertutupi oleh selimut tanpa bersisa.     

Wiryo mengernyitkan alis, bergerak sejenak memastikan siapa perempuan di balik selimut. Nyatanya tak ada sisa, gadis ini terkubur sepenuhnya.     

"Kau masih berkeliaran dalam kondisi seperti ini!?" ucap Wiryo menyergap Mahendra.     

Hendra secara sadar memastikan tangannya yang terluka tak tampak oleh kakeknya.     

"Bawa dia pulang ke rumah induk," Wiryo memundurkan kursi rodanya.     

"Kalau aku belum mau??" mata biru memutar sedikit tubuhnya, dengan sengaja menunjukkan ketidaksopanan dengan menampilkan dada bidang telanjang.     

Mendengar telisik suara mengganggu dan muka pengap tertutup selimut, Aruna muncul dari balik kain putih tebal nan lebar, "Hendra ada ap?" dia menampakkan kepalanya hampir saja berniat duduk, "Hah!?" lalu buru-buru menyusup kembali dan tak berani keluar lagi setelah bertaut mata dengan kakek Wiryo.     

-gila.. gila sekali! Bagaimana kakek Wiryo masuk kemari??- Aruna meringku dan mengutuki keadaan berulang.     

"Jasad Thomas belum di temukan," kalimat ini membungkam keduanya, sang cucu sekaligus kakeknya. Setelah memastikan siapa perempuan di balik selimut Wiryo lebih jenak.     

"Berhentilah bermain-main, aku tidak akan memperingatkanmu dua kali," tetua memutar kursi rodanya seakan dia segera keluar kamar.     

Nyatanya lelaki yang gaya bicara hampir serupa dengan Hendra tersebut mundur lagi lalu memandangi gundukan kain putih, "Aruna.. kakek tahu kamu masih berat tinggal di rumah induk kami," suara ini merendah membuat gadis di balik selimut mencoba meyakinkan diri dengan mengintip sedikit.     

"Mari kita sama-sama perbaiki kesalahan di masa lalu," kata Wiryo turut menurunkan guratan kaku Mahendra, pria ini menoleh kepada istrinya bahkan membuat gerakan mengusap rambut sang perempuan.     

"Tidak ada tempat yang lebih baik dari pada berkumpul bersama keluarga," Wiryo mengakhiri tuturnya dan menghilang di balik pintu kamar.     

Hendra mendekat membuka perlahan selimut yang menutupi Aruna. seiring hilangnya tetua Wiryo dari pandang. Lelaki ini mengendus pipi perempuannya sambil berbisik, "tak usah khawatir, apa pun yang kamu ingin kan, entah tetap di sini atau kembali ke rumah induk tidak jadi masalah," Hendra menenangkan Aruna.     

Wajah gadis itu tertangkap jelas kian berduka. Dia menamati lengan Hendra yang terluka.     

"Mau mandi bersamaku?" Hendra berupaya mengalihkan fokus Aruna.     

Aruna menggeleng, "Tidak, aku tidak akan bisa melihatmu membuka, ini" ungkap Aruna yang akhirnya memilih duduk sembari memangku tangan dengan baluran darah kering.     

"Kau yang mandi duluan," pinta Aruna yang masih setia memegangi lengan Mahendra.     

Dia yang di ajak bicara tampaknya tak fokus, buktinya Mahendra tidak beranjak sama sekali, mata biru tertangkap mengarahkan pandangan pada bagian sensitif yang kini menyajikan semburat merah.     

"Aku tidak tahu dari mana aku harus minta maaf, apakah dari kesalahan media menyebutkan Nana sebagai tunanganku atau dari yang memperlakukanmu dengan kasar, aku..." ada jemari telunjuk perempuan yang menempel pada bibir sebelum dia mengatakan kata "Hush," meminta laki-laki ini berhenti bicara.     

"Aku tidak mau mendengar kalimat permintaan maaf lagi," ungkap Aruna merebut perhatian Mahendra dengan menatap matanya.     

"Seperti yang kita tahu, sejauh ini.." dia yang bicara membuat lelakinya tak sanggup melihatnya, Mahendra memilih melempar pandangan ke arah bawah, "..tiap kali kalimat permintaan maafmu aku balas dengan maafku, kamu masih mengulangi kesalahan. Aku pun juga sama, aku juga sering berbuat salah," Aruna menggerakkan tangannya di bawah dagu Mahendra mengelus lembut dagu tersebut dan secara lamban perempuan ini meminta tatapan suaminya mengarah kepadanya.     

"kita manusia, manusiawi berbuat salah lalu minta maaf kemudian mengulangi kesalahan. Masalahnya, kadarnya yang berbeda, level masing-masing individu tidak sama" Aruna memungut bajunya yang robek, "Hal semacam ini bukan kadarku, level kesalahan semacam ini sayangnya adalah levelmu," dia meletakkan baju robek itu kembali lalu bergerak ke arah sorot mata Mahendra di jatuhkan.     

Hendra yang memilih merunduk di paksa menangkap keberadaan Aruna melalui keputusan perempuan ini ikut merundukkan dirinya dan memiringkan wajahnya di bawah Arah wajah Mahendra.     

Mahendra dengan terpaksa menatapnya, Aruna sadar pria ini sedang dalam kondisi tertekan karena perilakunya.     

Setelah berhasil membuat Hendra menatapnya dia baru mau bicara, "Aku tak bisa memaafkanmu, -lagi," kalimat ini menyentak seseorang, si lelaki meremas selimut tebal yang menyebar seputar pangkuannya.     

"Tenanglah.. kali ini aku bermaksud meminta lebih," Aruna menyentuh tangan gemetaran meremas selimut.     

"Apa pun, apa pun itu, akan ku berikan," kata Hendra dengan nada tak karuan.     

"Aku mau di izinkan mengenalmu, mengenalimu lebih dalam, sehingga pemahamanku tentangmu utuh, utuh sampai aku mengerti kenapa level kesalahanmu di atas rata-rata orang normal pada umumnya," raut muka Mahendra berubah total mendengar ungkapan istrinya. Dia spontan memeluk sang perempuan.     

Aruna yang di dekap tak bisa berbuat selain membalas pelukan. "Kau mengizinkanku?" kembali perempuan mungil ini bertanya di balik dekapan suaminya.     

"Pemahaman membuat seseorang tak bisa lagi menyalahkan," kata Mahendra yang tidak menjawab pertanyaan Aruna, tapi malah membuat pernyataan berikut, "aku tahu teori ini, dan aku tak pernah berpikir istriku yang polos, mempunyai esensi sejauh itu," kembali pernyataan Mahendra terbit.     

"Aku tidak tahu teori itu, yang aku tahu sebatas 'pendamping terbaik harus mengenali pria yang di dampingi melebihi pemahaman orang lain' sehingga aku bisa selaras denganmu, terutama sudut pandang," kata Aruna, yang kemudian mendapati suminya melepas pelukan.     

-Aku ingin tahu kapan kamu membutuhkan obatmu, dulu aku bahkan tidak peduli tentang ini. Tapi sekarang jalan yang aku pilih sudah jelas, segala risiko harus di pikul- gumam Aruna di balik gerakan mengangguk dari Mahendra, dan ucapannya kala mengatakan "Iya," sebagai bukti bahwa lelaki bermata biru mengizinkan istrinya mengorek kehidupannya.     

"Aku mandi dulu," ucap Hendra menuruni ranjang.     

Ketika pria itu menghilang di balik pintu kamar mandi Aruna mengamati dirinya dan keadaan sekitarnya.     

-Berdamai dengan keadaan langkah awal menuju jalan terbaik- perempuan ini bergumam untuk kedua kalinya. Gumaman menguatkan hati, premis hidup yang sempat dia sandang lalu di buang dan sekarang di pungut kembali. Seperti caranya memunguti bekas perilaku suaminya semalam.     

.     

.     

Hendra sudah berada di pantry dengan dokter pribadinya, tapi kali ini bukan dokter Diana atau timnya, semacam dokter Tio. Dokter yang datang hari ini ialah dokter yang biasa datang ketika fisik keluarga Djoyodiningrat kurang baik, namanya dokter Martin.     

Tangan Hendra di bersihkan dengan cairan alkohol kemudian kulit bengkak yang menyajikan luka tersebut di eratkan menggunakan peralatan medis termasuk tangan sang dokter. Aruna tak bisa menatapnya ketika tangan dokter tersebut menari di seputar-an luka.     

Aruna menghentikan langkahnya untuk mendekat, ketika wajah Hendra meringis beberapa kali, "tak apa sayang, ini tidak sakit kok," masih saja dia bicara demikian untuk menenangkan istrinya. padahal Aruna yang kini sudah menjelma jadi perempuan segar sebab habis mandi memilih berdiri tegap dari jarak jauh agar tidak melihat luka Mahendra.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.