Ciuman Pertama Aruna

III-38. Kaos Oblong



III-38. Kaos Oblong

.     

.     

"Sudah puas mainnya," sapa perempuan yang sejak awal ternyata sudah duduk mengamati Hendra cukup lama.     

"Hee.." lelaki bermata biru hanya mampu tersenyum sambil menggaruk sudut lehernya yang tidak gatal.     

Dia berjalan kian cepat hampir terlihat setengah berlari menuju istrinya dan mengiringi langkah dengan memeluk pundak.     

"Jangan memelukku.." Kata Aruna menyingkirkan tangan di pundaknya.     

"Masih marah??"     

"Enggak," dia berhenti berjalan, " lihat," katanya mengamati badan Hendra yang bau matahari, debu dan berkeringat, "cuci kaki dan tangannya dulu,"     

"Ah iya," pria ini berlari mencari letak kran air, nyatanya di sudut pelataran rumah belajar ini terdapat kran air yang baru di tinggalkan salah satu anak. Hendra mencuci muka dan kaki tangannya di sana.     

Sedangkan Aruna berjalan menuju letak sepatu pantofel yang di tinggalkan pemiliknya. Hendra bahkan lupa dia bertelanjang kaki. Perempuan ini membawa sepatu dan meletakkannya di dekat suaminya mencuci kaki.     

"Terima kasih sayang," kata Hendra mulai mengenakannya.     

.     

Sesaat berikutnya mereka menuju mobil. Pria ini buru-buru membuka pintu sisi kanan untuk istrinya.     

"Kau pikir aku mau duduk di depan, aku mau duduk di belakang,"     

"Kenapa begitu," dia yang di protes mengurai khawatir, "masih marah?" Otak Hendra di penuhi tanda tanya.     

"Kalau iya kenapa?"     

"Kamu belum membaca pesanku? Aku membeli make up untukmu, sungguh," Hendra bergerak mendekati perempuan yang ingin membuka pintu belakang, dan pintu tersebut di tahan telapak tangan kanan Mahendra.     

"Kenapa harus dengan Nana,"     

"Sekretarisku hanya membantuku memilih -kan' untukmu," pria ini menangkap tangan Aruna dan menariknya ke belakang, ke depan pintu bagasi. Giliran pintu tersebut di buka oleh pemiliknya betapa terkejutnya Aruna. Kantong-kantong belanja berisikan make up brand ternama berjejer di sana.     

"Ini yang aku beli, untuk istriku bukan untuk orang lain. Tadi pagi dia bilang ingin membeli make up, iya -kan'," Hendra mengkonfirmasi dan senyum Aruna terbit seketika.     

"Tapi ini tidak gratis," kata lelaki bermata biru menutup pintu bagasi.     

"Kompensasi apa yang kamu inginkan?" tampaknya Aruna sudah hafal betul tiap-tiap keinginan Mahendra.     

Hendra kembali membuka pintu mobil sisi depan, dia menggerakkan kepalanya tanda meminta Aruna segera masuk. Giliran disambut istrinya.     

Hendra segera menutup pintu lalu berlari kecil memasuki kursi pengemudi, "menurutmu apa kompensasi yang aku inginkan?" katanya sambil menyajikan senyum lebar, mengawali laju mobil menuju pulang.     

"Bikin bayi," gerutu lirih Aruna yang di sambut kekeh bahagia Mahendra.     

***     

"Aku keluar duluan, nanti susul aku di tempat parkir rumah sakit ini, kau tahu mobilku kan?" Nana mengajukan permintaan.     

"Tunggu sebentar!" Thomas meminta waktu bicara pada Nana. "aku mau mengaku dan menyerahkan diri pada tetua dengan satu syarat," ia menatap lekat Nana dengan serius, "kau juga harus mengakui kesalahanmu."     

"tidak bisa!" Nana terlihat panik, "Aku tidak mau!"     

"Kau adalah pangkal dari semua masalah ini di mulai," gertak Thomas yang berdirinya saja masih tertatih-tatih.     

"tidak! aku tidak bisa!" suaranya cenderung konfrontasi, "Opa Wiryo akan menyingkirkan ku dari Mahendra, aku tidak mau jauh dari Mahendra, apa pun yang terjadi,"     

"Jadi kamu sekedar menjadikan aku kambing hitam?? Aku membantumu karena menghormatimu!? sebagai kakak Leona, Apa kau gila Nana! Aku kekasih adikmu!! Kau ingin merusak hidupku juga,"     

Mata Thomas menyala, pria maskulin yang terbiasa berpenampilan elegan ini memang sejak beberapa bulan terakhir tak lagi menunjukkan performanya yang dikenal Prefect. Dia mengalami kemerosotan tajam sejak kepergian Leona, kekasihnya.     

"Kau memanfaatkan Leona untuk menculik dan merusak pikiran Tania, sekarang kau memanfaatkanku," Thomas bergerak tertatih mendekati Nana, giliran mampu meraih tubuh Nana. Pria yang sedang kesal Luar biasa ini mencengkeram kedua lengan Nana.     

"Lepaskan aku," Nana menyentak pria ringkih korban ledakan yang dia atur sendiri. Tubuh Thomas terjatuh dengan mudah.     

"Baik. Kemas barangmu dan aku akan mengaku pada opa Wiryo," Nana memalingkan wajahnya.     

Sesaat berikutnya Thomas masih mencoba berdiri. Thomas mencari kursi roda yang berada di pojok ruangan agar bisa segera bisa menemui tetua dan mengakui kesalahannya.     

"Ah" Thomas masih berusaha berdiri ketika sebuah benda tumpul menghunjam kepalanya. "kau gila Nana," katanya, mencoba bertahan di antara tubuh yang terjatuh dari kursi roda dan kembali tersungkur di lantai.     

"Pak! Pak!"     

"Park! Buk!"     

Ada yang menyerang tubuh ringking tak berdaya Thomas. Hingga pria ini kehilangan kesadarannya.     

[Kau mau uang banyak?] Ini suara Nana menghubungi seseorang misterius di luar sana.     

[Ambil tubuh di kamar pasien nomor 312 Melati, dan buang tubuh itu di sungai pada jembatan terdekat rumah sakit ini] Nana mengambil tisu basah, mengusap seluruh benda yang sempat dia pegang. Kursi, vas bunga dan ornamen kamar yang di gunakan untuk memukul kepala Thomas dia kembalikan seperti semula.     

"Hehee.. he.." perempuan ini sempat tersenyum mengerikan, sebelum meninggalkan tubuh Thomas dengan kepala berdarah.     

[Jangan lupa bawa sekalian kursi rodanya, supaya Thomas seolah bunuh diri] kembali mulut Nana berucap sebelum akhirnya dia benar-benar keluar dari kamar ini berbungkus jaket topi dan masker mirip laki-laki, serupa dengan kedatangannya tadi.     

***     

Lelaki bermata biru mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja.     

Dia tidak tahan menunggu perempuan di hadapannya makan.     

"Lamanya.. Tuhan..." keluhnya berulang. Tapi Aruna santai saja, tak peduli dengan Hendra yang menggerutu sejak tadi.     

"Biasanya kau makan cepat," Hendra meminta asisten rumah tangga hari ini tinggal sejenak untuk membersihkan makan malam. Biasanya asisten Mansion ini hanya akan datang ketika tuan rumah tidak ada.     

Di sela-sela kesibukan asisten rumah tangga memundurkan sisa hidangan. Aruna masih memegang tulang ayam dan menggigiti sela-selanya.     

"Itu sudah habis, letakkan!" gertak Hendra tak tahan memintanya masuk kamar.     

"Gak mau! Bagian ini, yang paling enak," kata Aruna menjilati tangannya.     

"Cuci tangan sekarang!"     

"kenapa sih marah-marah?? Aku yang harusnya marah," Aruna merelakan tulang ayam yang mulai di undurkan asisten rumah. "Katanya sibuk, nyatanya jalan sama cewek lain," Aruna memalingkan muka, berdiri menuju wastafel mencuci tangannya.     

"Aku membelikan make up untukmu," kata pria ini dengan nada lebih halus.     

"Kenapa nggak sama aku? Kenapa sama.." Aruna malas menyebut namanya berjalan menuju ruang tengah meraih remote tv, tampaknya dia belum mau tidur.     

"Ya. Aku salah," lelaki ini tidak mau berdebat, bergerak mendekati asistennya "pergilah sekarang! Kerjakan tugasmu besok pagi saja," suaranya pelan hanya untuk asisten rumah tangga.     

"Apa tidak masalah tuan?" lawan bicara Hendra dalam kebingungannya menatap piring kotor.     

"Sudah pergilah sekarang, lebih bermasalah kalau kau masih di sini," kata mata biru mendorong asisten tersebut pergi.     

Melihat asistennya menunduk pamit. Hendra buru-buru mendatangi istrinya yang duduk santai di atas sofa dengan kaos oblong dan celana pendek, baju ala kadarnya versi Aruna.     

Hal tersebut belum apa-apa di bandingkan dengan gaya duduknya yang menekuk satu kaki dan memangku snack. Dia memasukkan itu makanan dengan santai dalam mulutnya. Butiran-butiran kecil rontok di baju, sofa termasuk mulutnya.     

Hendra buru-buru merebut bungkusan Snack tersebut, meletakkan di tempat yang tak terjangkau tangan Aruna.     

"Apa lagi sekarang?" keluh Aruna.     

"Kompensasiku belum di bayar," si to the point melepas bajunya.     

"Apa harus sekarang?"     

"Iya" Hendra sudah duduk bertelanjang dada di dekat istrinya.     

"Aku mau nonton tv sebentar saja, istirahat sebentar," Aruna sadar semakin cepat mengizinkan Hendra, maka kian lama pula dirinya akan di kuasai mata biru. Pria yang mengulang alasan serupa ketika di minta berhenti; 'kamu perlu membayar hutangmu sebagai istri, siapa suruh! baru sekarang mau di sentuh suaminya, ini balasan tahun-tahun tanpa sentuhan'.     

"Aku dengar dari Herry, katanya istriku kesulitan beli baju?"     

"mahal baget, aku nggak sanggup,"     

"Hehe," pria ini sempat terkekeh, bukan karena mendengar kata-kata Aruna. Tapi keberhasilan lain dari tangan yang menjelajahi sisi dalam kaos oblong.     

"Nanti biar aku yang membelinya sebagai hadiah, Herry bilang kamu bisa menerimanya sebagai hadiah," Ada mata menggelap.     

"Beri kan hadiahku sekarang," pinta mata biru yang akhirnya berhasil meluluhkan perempuan.     

Luluh, terbaring memegangi lengan kokoh pria yang mulai sibuk mengendus leher dan telinga.     

***     

"Aaargh.. gawat!! Aku terlambat!" pekik Aruna berlari ke kamar mandi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.