Ciuman Pertama Aruna

III-37. Kumpulan Berandal Kecil



III-37. Kumpulan Berandal Kecil

Mereka terdiam, berjalan ringan dan kian cepat menuju tempat duduk masing-masing. Aruna memang memiliki daya magis, ini sekedar persepsi Hendra. Persepsi pria jatuh cinta terkadang suka berlebih. Sampai tak sadar terlalu lama dia berdiri di sana dan sebuah sapaan yang mengusung tema ejekan terlempar untuknya.     

Yang benar saja, Aruna menjulurkan lidah kepadanya. Seiring ujung jemari telunjuk menempel di pipi bagian bawah mata, yang kemudian dia tarik bersamaan dengan juluran lidah.     

Aruna jelas mengejeknya setelah keberadaan Hendra tertangkap basah mengintip ruang kelas tempat istrinya mengajar.     

Aruna tidak marah? Syukurlah.     

Direlakan perilaku mengintipnya usai. Lelaki bermata biru akhirnya mundur dan memilih duduk pada bangku panjang yang terpasang di tepian teras kelas.     

Hendra terduduk lama di tempat tersebut, mungkin sudah 30 menit dia mengamati gerombolan anak-anak memainkan bola mereka.     

"Yeee Gool.." Lagi-lagi dia mendengarkan sorak-sorai penyambutan kemenangan. Sayang sekali hanya pada satu sisi, tim yang satunya kalah telak 5-0.     

Goresan wajah bahagia pada tim sisi kiri kontras dengan sekelompok tim yang murung di sisi kanan. Mahendra mengamati mereka sambil menerka-nerka apa kira-kira yang bakalan terjadi selanjutnya.     

Pikiran pria ini lari pada sebuah buku bacaan lama yang wajib dia baca sebelum mengawali kelas Sabtu sore. Kelas yang di paksakan kakeknya sejak belia. "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798–1857), belakangan setelah menginjak masa kuliah dia tersadar mengapa dirinya di ajari tentang ilmu yang di rasa tiada guna waktu itu.     

Dosen tua berkacamata dan menyebalkan karena hobinya hanya bercerita. Dosen yang dipaksa kakeknya mengajar pemuda kecil usia belasan.     

Hendra geli mengingatnya, dia sering pura-pura tertidur atau bahkan tidur sungguhan supaya pria tua berkacamata hengkang secepatnya.     

"Socius berarti kawan, Logos berarti ilmu pengetahuan, definisi sederhana dari sosiologi adalah ilmu perkawanan, haha," masih ingat betul tiap kalimat yang berakhiran tawa sering dosen itu lafalkan. Bukan karena maknanya akan tetapi lebih kepada makian terhadap dirinya sendiri.     

"Mana mungkin aku berhasil di pelajaran aneh ini, menyapa kawan saja aku tidak bisa, Ah' terlalu teoritis," si murid pesimis vs dosen berapi-api dengan berbagai teori bermasyarakat, terlebih imbalannya cukup layak dinikmati. Setara dirinya mengisi kelas berjumlah 50 mahasiswa.     

"Bruk!!" lelaki kecil di ujung sana terjatuh. Membuyarkan lamunan pria berparas bule setengah Jawa.     

Hendra mulai berdiri, sejenak sempat ingin menolong. Dan perlahan bergerak mendekat.     

"Kau, jangan cengeng! Dari tadi kita kalah karenamu. Ayo bangun," yang berbaju merah mendatangi marah-marah.     

"Tak apa, kita Cuma bermain," yang baju kuning mereda.     

"Ayo. Jangan menangis! Lebih malu-malu in, kita masih bisa bikin satu gol," si positif menyemangati.     

"Mustahil," pesimis terjatuh, mulai bangkit, lalu menghapus air matanya sendiri. Dia memang terkesan paling lemah dan payah sejak tadi. Ya, wajar. Tampaknya paling kecil baik usia dan tubuhnya.     

"Main lagi nggak?? Atau sudah nyerah?? Lima kosong nih," penantang di ujung sana memasang muka mengesalkan.     

Hendra mengurungkan bantuan, dia malah kian asyik mengamati permainan bola para bedebah kecil pada jarak lebih dekat. Dan terkekeh berulang sebab tim yang kanan memang payah bukan kepalang.     

"Ah'," si kecil lemah tertendang kawannya. Dia menyisih ke tepi, mengusap air mata sekali lagi. Tampaknya kakinya benar-benar sakit, walau tangis itu di simpan rapat-rapat dengan memunggungi lapangan.     

"Hai Ayo.." teman yang lain meneriakinya, si pemarah yang tadi sempat jengkel pada si payah kecil.     

Pada akhirnya Hendra tersentuh juga, dia berjalan melingkari lapangan untuk mendekati si bocah kecil yang menepi dengan kaki kesakitan.     

"Kamu tidak mau main lagi?" Mahendra berjongkok menyelaraskan tinggi badannya dengan tinggi anak tersebut.     

Dia hanya menggelengkan kepala.     

"Apa sangat sakit?" pria bermata biru spontan memegangi sisi depan betis memerah.     

"Om, mau menggantikanku?" pertanyaan sederhana yang membuat Mahendra tak kuasa untuk tidak memandangi matanya.     

"Kau ingin timmu menang ya?" dia mengangguk mengantarkan permohonan.     

"Baik, tapi nanti kamu main lagi, aku lihat kakimu tidak begitu parah," si bocah kecil mengulang anggukannya untuk ke sekian kali.     

Dan Mahendra berdiri meneriakkan permintaan, "Kakinya sakit, aku menggantikannya sementara, boleh?" suara lantang ini berhasil mencuri perhatian.     

.     

Matahari kian condong di ufuk barat ketika pria dewasa menanggalkan umurnya. Membantu sekelompok tim sepak bola payah memenangkan pertandingan.     

Dirinya tidak di perlakukan layaknya pewaris tunggal yang larinya tak boleh di halangi, yang bolanya tak boleh di rebut, ini benar-benar permainan asli tak peduli tubuhnya tiga kali lebih tinggi.     

Kumpulan berandal kecil berani menendangi kakinya berulang kali, merebut bola seenak hati. Brand ternama yang membungkus tubuhnya jadi lusuh penuh debu. Lengan hem berwarna light rose di tarik ke atas oleh pemiliknya. Dia benar-benar berjibaku merajut formasi untuk memenangkan pertandingan tanpa hadiah ini.     

Dan akhirnya salah satu dari mereka yang mendapatkan operan bola Mahendra mampu mencetak gol pertama.     

Anak-anak dari tim payah melompat-lompat girang, bahkan si kecil yang tadi mengaku kakinya kesakitan ikut melompat kegirangan menyuarakan kalimat kemenangan.     

"Om, nanti di oper ke aku ya.." anak-anak ini malah berebut ingin mendapatkan oper bola dari Hendra. Mereka cukup tahu Hendra yang mengatur semuanya, dia bahkan mengajarkan strategi formasi tim. Siapa yang bertahan dan siapa yang menyerang.     

"Tidak.. Jangan ada yang berubah posisi, kalau kita mau menang," Hendra meneguhkan mereka.     

"Yang benar saja.. kita bisa menang, masih 7 – 1," keluh bocah berbaju kuning.     

"Ini sudah sore, sebentar lagi jam pulang," yang paling positif tak mau munafik.     

"Mencoba apa salahnya," kembali Hendra menawarkan berbagai kemungkinan yang menggiurkan.     

"Woeee.. Jangan lama-lama, mau main bola apa contekkan, sih," para pemenang yang baru kebobolan jadi punya rasa was-was.     

Debu-debu di atas pelataran sekolah dengan papan nama ber-NIK lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA) sedang menari mengiringi lari mereka mengejar bola.     

Tentu yang baru mendapatkan breafing strategi, kini kian menjadi-jadi. Mereka bermain dengan pola dan tak banyak membuang tenaga. Sedangkan yang tadi juara sudah mulai mencapai titik kelelahan-nya. Satu-persatu nomor ketinggalan terkejar.     

3-7 menjadi 5-7 dan di puncaknya 7-7. Yang terlucu kedua tim ini tak ada yang mau mengalah apalagi menghentikan sebelum ketemu tim mana juaranya.     

Hendra memilih duduk menemani bocah pesimis yang tadi dia gantikan, botol air mineral di tawarkan dengan berbangga oleh bocah tersebut. Dan si bule yang di penuhi keringat menyambut dengan hangat. Mata biru meneguk air jernih tersebut sambil melirik si pesimis menatapi teman-temannya yang bersiap menjalankan penalti mereka. Tanpa sadar air yang terteguk bibir Mahendra beberapa bagian jatuh mengucur ke bawah membasahi dagu. Tercecer ke mana-mana membasahi hemnya.     

"Kau mau ambil bagian," Hendra menawarkan.     

"Aku takut tak berhasil," si pesimis murung meliriknya.     

"Ambil bagian pertama, kau akan menjadi penyemangat ketika berhasil, dan tak akan jadi penentu utama jika tak berhasil," ungkap Hendra memberi ide.     

"Om, kalau aku mau, apa teman-temanku memberiku kesempatan," katanya masih sambil melirik iri yang di sana.     

"Tenang.. Ikut aku," Sore itu semua gol entah dari tim kanan atau kiri di rayakan dengan penuh suka cita. Kumpulan bocah berbau debu melompat-lompat mengusung bumbu seruan yang tak kalah memekikkan telinga. Termasuk si pesimis yang nyatanya di izinkan ambil bagian, dengan sarat menjadi cadangan terakhir. Dan ternyata dia benar-benar berperan     

sebagai penentu akhir.     

Tanpa di duga oleh siapa pun, pesimis itu memuluskan kemenangan timnya.     

Hendra yang tertular semangat mereka spontan memanggul bocah pesimis yang kini tersenyum optimis di pundaknya. Berlari keliling lapangan di ikuti langkah lari anak-anak lain.     

Sampai matahari sirna menutup perjumpaan mereka.     

.     

.     

"Sudah puas mainnya," sapa perempuan yang tanpa sepengetahuan Mahendra sudah mengamatinya cukup lama .... ...     

.     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

Supaya nggak baper follow Instagram bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.