Ciuman Pertama Aruna

III-35. Intuisi



III-35. Intuisi

"Kenapa nona malah duduk di sini bukannya belanja," Herry memperhatikan cukup lama istri tuannya yang kini memilih membeli minuman ringan dan duduk di salah satu kursi memanjang tepian lantai 3 pusat perbelanjaan ternama. Kursi ini biasanya digunakan untuk beristirahat sejenak, akan tetapi istri tuan muda Djoyodiningrat belum berkenan beranjak dari caranya memainkan handphone dan menyeruput minumannya pada tempat tersebut.     

"Kau tidak ingin duduk, duduk -lah dari pada berdiri terus capek," Aruna menawarkan ujung kursi memanjang.     

"Maaf, tidak sopan duduk terlalu dekat, apalagi sejajar dengan anda," balas Herry masih dengan berdiri mengiringi gadis duduk yang sedang menyelonjorkan kaki.     

"Beneran nggak mau duduk nih," canda Aruna.     

Sejenak kemudian terdiam kembali.     

"Aku masih penasaran," Hery berupaya memecahkan keheningan perempuan yang masih asyik menenggelamkan diri dengan menyeruput teh manis di dalam botol.     

"Hem.." Aruna hanya membalas dengan deheman, gadis ini memainkan handphone lagi.     

"Kenapa.." kalimat Herry terputus.     

"Herry lihat!" Aruna menunjukkan gambar gaun hampir mirip dengan yang dia amati tadi.     

"KW premium, harga minimum, hehe," dia yang bicara tertawa.     

"Anda tidak layak menggunakan benda KW, tidak pantas istri pewaris DM Group pakai barang palsu," Herry melirik layar handphone nona Aruna.     

"Iya nggak bener juga beli KW, gimana kalau aku beli yang brand lokal, tapi sama bagusnya," ujar Aruna minta saran, "bisa lebih murah."     

Herry seolah memiliki tanggungjawab menjabarkan dilema beli barang mahal yang belum menjadi kebiasaan istri tuannya.     

Herry akhirnya duduk di ujung kursi memanjang mencoba membuka persepsi nonanya, "Menurut saya, tampil sempurna sebagai istri tuan muda bagian dari kebutuhan Anda, tidak masalah menurut saya kalau Anda membeli baju yang Anda butuh kan," terang Herry.     

"Emm.. Kalau di beri aku mau memakainya, kalau membeli aku merasa sangat berat sekali," sorot mata perempuan mungil ini tampak menerawang sunyi dalam keramaian pengunjung Mall.     

"Aku pernah mendengar tentang persoalan konsumtif," Herry juga tidak tahu dari mana dia bisa berkata-kata seelok ini, tampaknya buku-buku yang di paksakan tuannya agar dia baca jadi bagian dari ungkapan yang di luar kebiasaannya, "Selama masih kebutuhan bukan atas dasar keinginan, jual beli yang terjadi tidak tergolong konsumtif,"     

"Aku tidak berpikir sejauh itu," Aruna melirik Herry sejenak berikutnya menurunkan pandangannya, "Yang ada di pikiranku lebih sederhana," gadis ini tampak ragu berucap.     

"Em.. Kamu pernah melihat sebuah rumah mungil di pinggiran kota?" Herry memilih mendengar dari pada menjawabnya, "rumah yang beratapkan jalan tol, kadang juga berdinding kan bekas-bekas papan buangan. Ketika aku harus membeli benda yang bahkan bisa di gunakan untuk memberi rumah layak tinggal. Em, seperti ada sesuatu di hatiku yang salah.. Apakah ini efek dari dunia relawan yang kugeluti sejak belia. Aku, juga tidak tahu,"     

Herry menatap nonanya dengan bangga, perempuan di sampingnya berbicara dengan ekspresi murung. Cukup aneh ketika seseorang istri gelisah membelanjakan uang suaminya sendiri. Terlebih sang suami memiliki kelas ekonomi jauh di atas rata-rata, "Aku baru mengerti sekarang, kenapa tuan amat terpikat pada Anda. Dia bilang tidak ada perempuan secantik istrinya,"     

"Kau cuma mau menghiburku –kan," ada mulut di tekuk, "Jujur saja.. Tak usah pura-pura, sekretaris Nana lebih cantik, apalagi kak Tania," Entah apa yang terjadi perempuan ini berduka, "Aku bahkan tidak bisa pakai penjepit bulu mata," dia yang mencucuh sedang menahan sesuatu.     

"Aku bicara jujur, -sungguh," Herry mencoba mengatasi si nona yang mood-nya naik turun sejak pagi.     

"Malas bicara denganmu," gadis ini berdiri, "membual saja terus supaya aku bahagia," dan mulai melangkahkan kaki, tentu di buntuti oleh Ajudan berbadan atletik di belakang.     

Termasuk seseorang yang berjalan dalam bayang-bayang. Lelaki mengenakan topi Armi menjadi stalker jalannya mobil yang di kemudikan Herry sejak keluar dari pelataran halaman Djoyo Rizt Hotel.     

***     

Pria bermata biru sedang memegang benda berbentuk tabung, dia menatapnya dengan lamat. Sampai seorang pramuniaga membukakan produk contoh untuknya, "ini warna yang indah untuk nona di sana," tampaknya pramuniaga salah sangka terhadap kehadiran Nana yang terlihat sibuk memilih kosmetik yang dia inginkan.     

"Oh'," jawab Hendra hampir tidak terdengar oleh lawan bicaranya. Si pramuniaga kembali menunjukkan kualitas produk yang dia jual. Perempuan berseragam dengan make up tebal tersebut menggoreskan lipstik pada punggung tangannya.     

"Bagaimana menurut Anda?" Dia kembali bertanya pada Hendra.     

"Aku ingin membelikan untuk istriku, bukan sekretarisku," melihat tanggapan Hendra kurang mengenakan pramuniaga tersebut langsung menemukan pemahaman dan dia terdiam seketika, menanggung rasa malunya.     

"Menurutmu mana yang cocok untuk kulit perempuan dalam foto ini," Hendra meminta saran, pramugari yang terdiam langsung bersemangat.     

"Menurut saya Classic Matte tergolong produk Dior yang paling natural, warna rosy pink sangat cocok untuk istri Anda yang terlihat muda dengan kecantikan alami," senyum tipis Hendra hadir setelah mendengar penjelasan tersebut.     

"Apa akan sesuai dengan kulitnya," Hendra tertangkap antusias     

"Classic Matte merupakan warna universal, menurut saya bisa dipakai oleh siapa saja, apa pun warna kulitnya,"     

Hendra lekas memungut lipstik tersebut untuk di kemas, termasuk lipstik lain dengan merah menyala sesuai seleranya. Lelaki bermata biru berkonsultasi panjang lebar sebelum akhirnya memborong berbagai jenis make up di outlet tersebut.     

.     

"Hendra aku ambil yang ini," Nana memajang senyum cerah sambil meletakan 5 benda beraneka di meja kasir.     

"Tolong bungkus sekalian," kata Hendra, "Oh ya, wadahnya di pisahkan."     

Begitu terkejutnya Nana mendapati bungkusan yang di tenteng Mahendra, Hendra membawa sendiri tas belanja yang isinya lebih banyak make up dari pada yang dia belikan untuk Nana. Pria ini bahkan kembali menyusuri outlet sebelah untuk mencari benda-benda serupa.     

"Kamu membelikan make up untuk siapa?" tanya Nana diiringi rasa gelisah yang menghunjam dadanya.     

"Istriku," Enteng Hendra menjawabnya.     

Ingin rasanya Nana melempar ucapan dan raut kemarahan. Apa daya perempuan ini tak punya kuasa, dia hanya mampu menelan salivanya.     

_Apa Hendra sudah bisa menaklukkan ketakutan gadis itu?_ Nana mencoba mempertanyakan sesuatu yang sia-sia untuk dirinya.     

***     

"Kenapa Anda malah belanja macam-macam mainan?" Herry di buat bingung sendiri. Menenteng kantong besar di kedua tangannya.     

"Aku juga nggak tahu.." perempuan ini sekedar menuruti intuisi[1], "Nanti aku ada jadwal ngajar, kamu mau mengantarku?"     

"Tentu saja, mengapa Anda bertanya segala?" lagi-lagi Herry di buat bingung oleh istri tuannya.     

"Nanti Hendra pulangnya bagaimana,"     

"Tuan punya banyak mobil dan sopir, yang benar saja.. Anda lupa dengan hal ini?"     

"Dia tadi bilang, tidak ada yang boleh tahu mansion tempat tinggal kita selain kamu,"     

"Ah' benar juga," Ajudan dan nona berjalan gesit menuju lift.     

Namun, secara mendadak langkah kaki sang nona terhenti, "Kenapa Anda berhen.." kalimat Herry tak usai. Mata sang nona tertegun menangkap sepasang manusia keluar dari outlet kosmetik brand ternama.     

Pandangan Herry menurut arah mata sang nona, dan dia menemukan tuannya di ujung sana. Berjalan beriringan dengan sekretaris Nana, keduanya terlihat menenteng wadah belanja.     

.     

.     

[1] Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Sepertinya pemahaman itu tiba-tiba saja datangnya dari luar kesadaran, bisa jadi didasarkan pada pengetahuan implisit yang tersedia pada memori jangka panjang pembuat keputusan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.