Ciuman Pertama Aruna

III-31. Emosi Meletup-letup



III-31. Emosi Meletup-letup

"Maksudnya Aku??"     

"bukan.." Hendra menatap, mendekati perempuan menggemaskan, "bukan aku, tapi kamu," Hendra masih saja menggodanya. Membopong perempuan dalam dekapan.     

"Aku maunya berendam air hangat,"     

"Iya,"     

"Sama, wangi lavender,"     

"Iya,"     

"pakai sedikit busa,"     

"Iya,"     

"Dan tanpa Mahendra,"     

"Tidak!"     

"Kenapa harus sama kamu?"     

"Suka-sukaku,"     

"Huuuh nanti pasti minta lagi," si perempuan jengkel, " tadi sudah -kan di mobil?,"     

"Yang di mobil pengganti malam sebelumnya," jelas Mahendra, "Dan yang berikutnya milik malam ini,"     

"Ada aturan kayak gitu,"     

"Ada!" Mendengar jawab singkat Hendra, alis Aruna menyatu.     

"Aturan buatan Hendra!" si pria berucap dengan nada serius.     

"Besok pagi bangun tidur sudah pasti minta lagi,"     

"itu sarapanku, tidak boleh tidak,"     

"yang malam ini libur dulu lah.. sekali-kali... saja.."     

"cukup aku yang bekerja. Aruna -kan, tinggal, diam saja..," Hendra tidak mau ada jeda sejak malam penyatuan mereka.     

"Kamu pikir bisa diam di 'gitu -kan'?!" dan Hendra tertawa oleh ungkapan frontal pertama dari bibir yang biasanya memiliki kosakata sopan.     

***     

Tak terasa pagi sudah menyapa, Aruna terbangun sebab lelakinya terdengar menjawab panggilan seseorang melalui handphone.     

Hendra bergegas menyusup ke kamar mandi. Setelah panggilan di handphonenya dia selesaikan dengan akhiran, "tunggu aku, aku usahakan sampai di kantor tepat waktu,"     

Aruna masih mengerjapkan matanya, duduk termenung mengumpulkan nyawa. Di tengah keadaan meraih kesadaran, smartphone Hendra menyajikan panggilan, meraung-raung minta di angkat.     

"Sayang ada telpon aku angkat ya.. bunyi terus nih," teriakan Aruna tidak di jawab.     

Aruna yang baru mengucek-ucek matanya, sudah terlanjur membuat sentuhan di tanda hijau. Padahal nama pembuat panggilan ialah Anna. Aruna tidak tahu Anna adalah Nana, dia hanya tak suka yang menelepon di pagi secerah ini ternyata nama perempuan. Aruna perlu memastikan Hendra yang semalaman berhasil membuat tuhunya redam tidak aneh-aneh dengan perempuan lain.     

[Hallo, Hadyan jangan lupa gunakan,] suara ini terputus.     

[Hendra masih mandi,] suara Aruna membuat yang di sana tegang seketika.     

[Siapa kamu?] desak Nana.     

[Kamu yang siapa?! pagi-pagi sudah telepon Hendra,] Aruna lebih santai menanggapinya.     

[Aku calon tunangannya, kamu siapa?!]     

Deg     

Gertakan Nana membuat mata Aruna terbuka lebih lebar, putri Lesmana menemukan kesadarannya seketika. Anna dan Nana ternyata nama yang sama.     

[Aku istrinya,] apa boleh dikata, suara Aruna tidak seangkuh rasa kepemilikan Nana terhadap cucu Wiryo.     

[Hah!.. Haha, jangan pura-pura! Istrinya sudah pergi, tak peduli lagi, Jangan membuat kebohongan] konsisten Nana menggunakan nada ancaman.     

Deg     

[Aku nggak bohong] yang seharusnya marah, justru terdengar bermode kalem.     

[Ih' sadar nggak sih, kata-kata perempuan malam macam kamu ini bikin geli,] yang benar saja, Nana membuat hinaan untuk Aruna. 'Perempuan malam' kata yang terlalu kasar untuk istri yang menemani malam-malam suaminya.     

Aruna tidak mengerti, bahwa Nana tidak menyadari yang bicara kini sungguhan istri Mahendra. Si gadis muda yang tidak terbiasa dengan tradisi keluarga Djoyodiningrat. Termasuk ketakutan kembali ke rumah induk dan memilih menjauh dari Hendra.     

[Hendra sudah tak ber-istri!] Tegas Nana.     

[Benarkah??] Aruna membiarkan yang di sana menumpahkan kemarahannya.     

[Apa aku perlu membeberkan kenyataan yang sesungguhnya padamu]     

Yang di sini terdiam seribu kata, Aruna tak bersuara.     

[Pernikahan Hendra sudah diujung tanduk, pihak pengadilan telah menutup kasusnya, tinggal istrinya bertanda tangan, semua sudah usai,]     

Deg     

Deg     

[Kau bilang apa?] Kata tanya Aruna menggandeng getaran hebat dari organ di dada.     

[Aku bukan dia, yang pasrah dan lemah, jangan berani-berani mengganggu tunanganku. Atau kau akan terima akibat terburuk sepanjang hidupmu!]     

Deg     

Deg     

_Angkuh sekali dia, se-enaknya sendiri_ gumam Aruna dalam hati dengan wajah merah padam antara marah, kecewa dan resah.     

Hendra melangkah keluar dari kamar mandi. Pria dengan balutan handuk dari perut hingga lutut, berjalan ringan sambil menggosok rambut basahnya.     

Seketika berdiri kaku karena tatapan sang istri. Mata biru mengerjap-ngerjapkan bingung apa yang salah darinya. Mahendra memeriksa tubuhnya, _konsisten menawan,_ gumamnya membuat pujian untuk diri sendiri.     

Sedangkan di hadapannya ada yang emosinya meletup-letup, melempar kasar bantal yang tergeletak tanpa dosa pada pangkuannya, menyibak selimut dengan gerakan kaku tak sewajarnya, jalannya pun tegas dengan langkah lebar dan sengaja menabrakkan sebagian tubuhnya pada Mahendra.     

"Brak!!" pintu tak berdosa ikut jadi sasaran Aruna.     

"Apa dia marah?" Hendra melanjutkan gerakan mengeringkan rambut dengan handuk. Sesaat berikutnya baru sadar hair dryer ada di laci dekat wastafel kamar mandi.     

"Kenapa di kunci?" Hendra mengetuk pintu bathroom.     

"NGGAK USAH MASUK!" suara Aruna yang kerasnya luar biasa tersebut, terdengar lirih dari luar pintu kamar mandi.     

Walaupun lirih, agaknya Hendra tahu intonasi Aruna intonasi kemarahan yang jarang dia tunjukkan.     

"apa semalam aku kurang oke?" pikirannya salah kaprah seketika.     

"kita sebelum tidur," bahkan si pria mencoba merunut narasi kejadian semalam, "kondisi Aruna baik-baik saja. Minta di peluk pula," kornea mata berwarna biru bergerak secara spontan sesuai gerakan neuron di dalam otak yang mencoba memecahkan kode kemarahan istrinya.     

"Sayang, aku cuma mau ambil pengering rambut," ucap Hendra mencoba mereda suasana.     

"KENAPA SIH KAU INI MENGGANGGUKU MANDI!!" dia yang di dalam masih berteriak seperti kesurupan.     

"Huuh, marah kenapa lagi ini.." Hendra mengalah, mengeringkan rambutnya cukup dengan menggunakan handuk di tangan.     

Sambil membuka almari dan mulai memilih padu padan pakaian untuk hari ini. Suami Aruna masih setia mencari-cari pemahaman dari emosi tak terkendali sang istri.     

"PMS? Mana mungkin belum tanggalnya,"     

"Atau ke-capek-an??" dia membuat dugaan salah kaprah lagi, "Huuh.. semangatku perlu di rem. Padahal sudah aku tekan supaya perlahan," dia yang menduga sambil menyusupkan lengan kemeja di tangan kembali membuat kesimpulan.     

"Atau jangan-jangan tanda-tanda kalau Aruna hamil??"     

"Ah' kayaknya tidak ada teori tentang; kebencian sekejap kepada suami akibat mengandung bayi," dia yang mengancing bajunya, kini di buat jingkat sebab istrinya yang menghiasi alam pikiran kritis mendalam sudah membuka almari sebelah dengan kasar.     

Bukan sekedar Gerakannya yang kasar, lebih ngeri lagi wajahnya mirip ibu peri jahat yang siap meluncurkan kalimat sihir kutukan.     

"Di lemariku tidak ada baju bagus!" tumben dia peduli pada penampilan.     

"Mulai sekarang platinum card milikmu yang ada padaku, akanku manfaatkan habis-habisan," dia yang dia ajak bicara hanya terdiam. Perempuan marah, kata artikel hasil searching di Google cukup di diamkan bukan untuk di tanggapi.     

Akan tetapi di dalam hati, supaya Hendra merasa lega, pria ini membuat balasan tiap pernyataan istrinya: _memang itu yang aku inginkan.. masa -iya, dari menikah sampai sekarang, belum pernah benar-benar pakai uang suaminya. Aku itu tajir melintir, Aruna saja yang terlalu nggak suka neko-neko_ gerutu ini di awali dari persetujuan, harapan, hingga berujung membanggakan diri sendiri lalu mengagumi istri.     

Aruna menanggalkan piama handuknya dan berganti pakaian begitu saja di dekat Mahendra. Sampai-sampai pria ini tak bisa lagi mengedipkan mata, menelan Saliva berulang kali dan menghentikan gerakannya mengenakan jas.     

"Sa.." lelaki bermata biru terdiam, setelah dua huruf awalan sayang berbalas lirikan tajam menghunjam.     

Aruna usai mengenakan celana jeans dan kaos oblong khas dirinya.     

"Sumpah, ini kenapa lagi.." Mahendra hanya bisa mengutuki dirinya ketika Aruna berjalan gesit menuju meja rias masih sambil menabrakkan kasar separuh badan mungilnya ke arah tubuh Hendra yang berdiri lesu sebab tak mampu memecahkan kode kemarahan putri Lesmana.     

"Make up ku juga terlalu standar, aku mau beli yang bermerek kayak perempuan yang tiap saat berada di dekatmu. Siapa itu mananya?" Aruna masih diliputi kemarahannya.     

"Syukurlah kalau istriku mau bermake up untukku, aku yakin dia bakalan cantik sekali," Mahendra duduk dengan hati-hati di dekat sang istri.     

"Oh' aku ingat, namanya.. Nanah! Sukinah!!" kesal Aruna. Hendra tak bisa menahan tawa, dia terkekeh-kekeh sambil memegangi perutnya. Ternyata dari tadi istrinya cemburu pada sekretaris Nana.     

"Kenapa kau tertawa, Nggak ada yang lucu!!" sentak Aruan.     

"Kalau marah begini, istriku makin lucu,"     

"Jadi aku badut??"     

"Bukan begitu, ya tuhan.. salah lagi,"     

.     

.     

__________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.