Ciuman Pertama Aruna

III-25. Praduga Tak Bersalah



III-25. Praduga Tak Bersalah

"Anda tahu apa yang lebih buruk dari itu," lelaki bermata biru meneguk air dalam gelas lalu meletakan benda yang terbuat dari kaca tersebut dengan kasar, "Aku pernah memaksanya memenuhi hasratku padahal dia tidak mau, hinaan macam apa yang lebih buruk dari itu," monolog Hendra mematahkan monolog Wiryo terkait 'bawahan yang mencakar tuannya'.     

"Sekarang apa maumu?" tampaknya akal tetua Wiryo mulai bekerja setelah sedemikian lama terbuai kemanisan gadis bernama Nana. Gadis yang berusaha dengan sejuta cara dalam upayanya menjadi bagian dari keluarga Djoyodiningrat, seperti kondisi yang dulu memang pernah ia sandang.     

Nana melempar pandangan kekhawatiran kepada cucu dan kakek yang tertangkap saling berdebat panjang. Tadi dia hanya mendengarkan tanpa melakukan pengamatan, kini pupil matanya malah melebar. Getaran rasa resah tidak bisa dia tutupi lagi.     

"Aku akan mempertahankan istriku," singkat Hendra. Tampaknya pria ini bersiap-siap untuk pergi.     

"Yang benar saja?! Dia tak bisa kembali ke rumah ini," kalimat tetua Wiryo terdengar implisit akan tetapi dua pria yang bercakap-cakap ini saling mengerti. Perempuan yang mereka bicarakan punya kenangan buruk terhadap tempat megah dan mewah ini.     

Hendra terdiam, angan-angannya terbang mengembara menangkap raut muka istrinya. Aruna tampak jauh berbahagia ketika tinggal bersamanya di mansion, Dia yang kini seolah berada di pelupuk mata lebih sering tertawa, mengganggunya bekerja, bahkan malam mereka kian menggoda. Sebab gadis itu tak segan bersuara merintih, membuat Hendra menginginkan lebih.     

"Aku akan memberimu bayi, keturunan –bukan? yang Anda inginkan?" tanda tanya di akhir kalimat Hendra menurunkan tatapan tajam Wiryo.     

"Membawa ke rumah ini saja kau tak mampu. Bagaimana dengan memberiku cicit," ada tawa tak percaya di akhir kalimat tetua.     

"Lalu bagaimana denganku?" Nana menyerobot nafas Hendra. Nafas untuk mengawali argumen berikutnya.     

Mata Nana bukan lagi merah, Tapi sudah berderai dengan butiran-butiran air jatuh membasahi pipinya. Seolah mempertanyakan kepada kakek Wiryo akankah dia hanya berakhir dipermalukan.     

Dia menyajikan tangis pilu pada raut wajahnya, kian menggoda pertahanan kakek Wiryo. Pertahanan menggunakan akal sehatnya terkait permintaan cucunya atau gadis yang memang sudah tak asing lagi di keluarga ini.     

"Kau terlalu berani memutuskan segala sesuatunya sendiri. jadi tanggung sendiri! Akibat dari apa yang sudah kau jalankan sesuka hati!" kalimat cuek Mahendra, entah bagaimana turut menggiring rasa tidak suka tetua Wiryo.     

"Nana membuat undangan karena keinginan oma-mu, aku juga tidak menghentikannya, karena kupikir ini cukup baik untukmu? Kenapa kau tak mencobanya? Toh, Aruna istrimu, belum tentu mau kembali padamu?" Wiryo yang tak tahu apa pun terkait Hendra yang kini tinggal bersama Aruna, masih mencoba bernegosiasi dengan cucunya. Supaya Mahendra memikirkan kembali keputusannya.     

"Tidak! Aku tidak mau melakukan uji coba apa pun," tegas Hendra. Yang dianggap oleh kedua lawan bicaranya sebagai bagian dari kebiasaannya yakni keras kepala.     

Wiryo kembali menatap Hendra, kemudian melempar tatapan kepada Nana yang terlihat begitu sedih, "Nana.." ini kalimat Wiryo untuk Nana yang terputus.     

Mahendra menerima panggilan dan dia lekas berdiri. Menyingkir, mengarahkan handphone tersebut pada telinganya. Dia berjalan menjauh mencari sudut yang benar-benar jauh.     

[Hallo] suara perempuan ini, suara yang membuatnya membumbung tinggi. Perempuan atas nama Aruna, yang dibicarakan secara pelik di meja makan keluarga dan marah tanpa kata. Saat ini sedang menyapanya.     

[Ya, Sayang, ini aku] buru-buru Hendra menjawabnya.     

[Em.. Aku mau minta izin] suara ragu, tapi menyenangkan ketika menyusup pada telinga mata biru.     

[Izin? Izin apa?]     

[Tadi kak Anantha meneleponku]     

Deg     

Kalimat yang ini, tak lagi mendamaikan hati.     

[Aku diminta ke rumah sakit menemui ayah] Aruna kembali membuatnya was-was.     

[Ayah sakit?] Tanya mata biru.     

[Tidak, tapi kak Alia.. kakak sedang menunggu pembukaan, mungkin sebentar lagi Kak alia mau melahirkan]     

[Oh'] Hendra turut bahagia mendengarnya.     

[Tunggu sebentar, aku usahakan sampai 30 menit dari sekarang] ini suara Hendra yang sedang mengamati jam di tangannya.     

[Kamu mau ikut sekalian ya?] Tanya Aruna.     

[Tentu saja, aku sudah lama tidak berjumpa keluargamu,]     

[Jangan lama-lama ya.. aku mau menemani kakak lahiran. tapi, di jalan nggak boleh ngebut -juga] pernyataan Aruna menghasilkan tawa ringan Mahendra.     

[Iya] kemudian keduanya terdiam sejenak. [Apa aku sudah ter maafkan?]     

[Sedikit] singkat Aruna, yang menghasilkan tawa kedua kali di bibir Hendra.     

[Love you. Terima kasih sayangku, sudah mau memaafkanku] lirih akan tetapi menggetarkan. Buktinya ada yang pipinya memerah di ujung sana.     

Hendra tangkas kembali menuju tempatnya duduk sesaat yang lalu. Tampaknya Nana sudah tidak ada. Mungkin kakek Wiryo menyuruhnya pergi, tinggal mommy-nya yang terlihat sempat bicara sendiri. Sayang sekali Hendra tak mendengar kata-kata yang perempuan ayu itu ucapkan.     

Hendra meraih kunci mobilnya, sejalan kemudian mommy-nya juga berdiri menatapnya sejenak lalu pergi.     

Namun, lagi-lagi keadaan tidak mendukungnya untuk segera pergi. Padahal imajinasinya sudah berlari menuju tempat istrinya yang kini duduk di hadapan kaca dan mencoba merias dirinya sekali lagi.     

Ada perempuan yang mencoba memakai lipstik tebal di bibir, padahal dia biasanya hanya menggunakan lip blam saja. Aruna mengamati dirinya Lamat-lamat untuk ke sekian kali. Lagi-lagi dia tidak percaya diri. Hingga bibirnya maju sekian senti.     

Di sisi lain Hendra terpaksa menghentikan langkah kakinya. Dia mendapatkan peringatan dari kakek yang kini memimpin jalannya menuju ruangan yang tadi sempat digunakan mereka bercakap-cakap.     

Sudah ada Vian dan Andos di sana, nyatanya akan terjadi rapat rahasia tentang kejadian pengihanatan dari lantai D.     

Hendra beranjak, menyingkir sejenak, dan kembali membuat panggilan untuk istrinya.     

[Sayang,] Kata pertama yang keluar dari mulut Hendra sudah memberi Aruna kode lengkap tentang gagalnya dia memenuhi janji hadir 30 menit lagi.     

[Jangan lupa gunakan jaket, dan beri tahu Hery untuk lebih berhati-hati. Aku akan menyusulmu secepatnya] Hendra menutup panggilannya dengan nada duka. Dia baru saja di maafkan, dan kembali mengecewakan.     

.     

.     

Ketika menyusup ke ruang kerja tetua Wiryo, pembahasan tiga orang manusia yang saling memasang tatapan keseriusan ternyata sudah memanas.     

Vian membuka segala aspek pengetahuannya. Setelah kalimat tanya dari tetua meminta penjelasan yang lebih nyata, "Jadi, apa saja kasus yang kamu tangani akhir-akhir ini?"     

Hendra mendengarkan dengan sesama, kakeknya terdengar begitu berpengalaman pria paruh baya itu langsung menarik benang merah terkait keterlibatan kejadian meledaknya ruang kerja tim Vian dengan kasus yang sedang di langsungkan.     

"Cukup banyak," demikian Vian membuka penjelasan awal.     

"maksud tetua, yang di dalam-nya melibatkan penghuni lantai D, serta investasi terakhirmu terkait posisi pereka kala penggerusan -kan itu terjadi," Andos memberikan arahan yang lebih jelas, kehadirannya sejauh ini sudah seperti penerjemah keinginan Wiryo.     

Dan Vian memaparkan kasus-kasus yang ditanganinya selama 3 bulan terakhir. Semua tampak serius, apalagi terkait kasus tertangkapnya pengki yang kini masih tersembunyi di salah satu ruang lantai D.     

Kasus utama kecelakaan yang mengakibatkan pimpinan tertinggi Djoyo makmur grup tak lagi bisa berjalan seperti sediakala.     

Sayang sekali arah mereka terlalu fokus menuju ke sana, menganggap biasa saja terkait kebocoran video para saksi pada sidang perceraian Mahendra dan istrinya.     

Sehingga kesimpulan awalnya, ada yang membelokkan yang secara implisit menjerumus ke Tarantula. Dengan tujuan membebaskan saksi utama, Pengki.     

"Aku rasa mengerucutkan sudut pandang pada satu kasus sebelum kita melakukan penyelidikan lebih mendalam, akan membuat kita semakin terjebak pada sesuatu yang belum tentu benar," Hendra menyela diskusi mereka.     

"Praduga tak bersalah perlu kita pegang teguh. Sebelum membuat kesimpulan. Menurutku, semua kasus yang kamu tangani selalu punya celah dan potensi pengihanatan. Bagaimanapun juga motif dan masalah akan datang beriringan, aku lebih setuju ketika kita mengawali ini semua dari investigasi mu," Hendra mengarahkan tatapannya pada Vian, "terkait siapa saja ... ... ....     

.     

.     

__________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.