Ciuman Pertama Aruna

III-24. Mencakar



III-24. Mencakar

"Aku kesini untuk makan bukan untuk berdebat dengan Anda," Hendra mulai bisa mengatur emosinya, dari jalan panjang caranya memahami perempuan, sejalan itu juga dia tahu makna menghargai orang yang lebih tua, Walaupun tetua Wiryo masih dengan wataknya.     

.     

.     

Kini lelaki bermata biru telah duduk di meja makan, di ujung sana pada pantry yang cukup luas untuk di ringkas dengan mata, tertangkap Nana begitu sibuk mengatur segalanya.     

Mereka seolah berkejaran dengan waktu, sebab si pewaris tunggal yang jarang di temukan pulang tampak sudah menunggu hidangan. Kumpulan asisten rumah tangga dan Nana tak mengerti Hendra memburu waktu agar bisa kembali. Kembali pada gadis marah yang perlu di damaikan hatinya secepat dia bisa.     

Begitu juga dengan oma Sukma tertangkap baru keluar, dia langsung berbaur dengan para perempuan di pantry dan mencicipi beberapa jenis masakan yang hampir siap disajikan. Disela-sela kesibukan tersebut terdengar Oma Sukma bercakap-capak riang dengan Nana, sepertinya Nana telah mulai meluluhkan satu persatu hati orang di rumah ini.     

Hendra mendengar telisik di telinganya, akan tetapi matanya mengarah pada sesuatu yang dia pegang. Tadi awal mula duduk di sini dia meminta handphone-nya pada Nana, perempuan itu berjalan cepat kembali ke kamarnya.     

Dan secepat itu pula handphone Hendra di serahkan. Perempuan ini bahkan sempat bertanya, "kenapa halaman depannya tidak juga kau ganti?" Hendra tidak menjawabnya, sekedar menatapnya sekilas lalu fokus memainkan layar smartphone.     

[Sayang, jangan lupa makan?] Hendra masih khawatir dengan perempuan di ujung sana. Ini pesan tanpa balasan yang dia tunjukan untuk Aruna.     

Sesaat kemudian dia kembali mengirim pesan untuk Herry, [Sudah sampai di Mansion?]     

[Oh, iya tuan. Saya akan segera meluncur ke sana] Herry masih tersekat dengan bangunan yang mirip kastel negeri dongeng.     

[Kalau sudah sampai, pastikan istriku makan. Tadi dia sempat marah padaku. Aku khawatir dia tidak mau keluar dari kamarnya.]     

[Baik] Herry membalas ini sambil berjalan cepat menuju mobilnya.     

.     

.     

Suasana makan keluarga Djoyodiningrat demikian tenang kecuali Oma Sukma yang mencoba memecahkan kebekuan akan tetapi tampaknya sia-sia. Dia hanya di tanggapi oleh Nana dan yang lain diam saja.     

Nana buru-buru mengambilkan piring dan meletakkan nasi di atasnya kemudian beberapa lauk, selanjutnya menarik piring Hendra yang masih menutup dan dia ganti dengan piring berisi penuh makanan di tangannya.     

"Siapa yang menyuruhmu," suara kaku ini tentu saja suara keberatan Hendra. Hendra menyahut piring kosong milik dari tangan kanan Nana.     

"Ambil lagi piringmu," dia tidak terima hidangan perempuan tersebut ada di hadapannya.     

"Hendra," Oma Sukma menangkap kericuhan kecil dua orang di hadapannya, "Nana hanya ingin membantumu,"     

"Aku tidak ingin di bantu," mendengar kalimat Hendra, Oma Sukma sempat memperdengarkan helaan nafas, sejenak kemudian menggerakkan tangannya seolah memberi bisikan 'sudah, sabar, biarkan saja' pada Nana.     

Gadis ini menarik piring yang tadi dia sajikan untuk Hendra. Dan Hendra, tentu saja pria ini mengambil sendiri apa yang dia mau. Mungkin di jam kerja lelaki bermata biru akan menerima berlaku ini, tapi tidak untuk di luar jam kerja.     

Semua itu hanya awal kericuhan, sebab setelah piring-piring di tarik mundur oleh para asisten rumah tangga dan berganti dengan makanan pencuci mulut.     

Pria yang sejak awal tampak terburu-buru dan duduk dengan kaku, mengawali kericuhan yang sesungguhnya.     

"Siapa yang mengatur pertunanganku? Aku belum mengiyakan, kalian sudah menyebar undangan se-enaknya sendiri," suara ini bukan cuma kaku, akan tetapi lebih kepada intonasi kemarahan. Bahkan mata Hendra sudah melirik tajam Nana, dia mengintimidasi.     

Hendra seseorang terdidik dan profesional di tempatnya bekerja, masalah pribadinya dengan Nana tidak pernah dia ungkit selama mereka bekerja.     

"E.. bukan -kah kamu.." belum usai kalimat ragu Nana terucap. Oma Sukma mencoba menengahi.     

"Kita semua sudah setuju -kan? kau harus segera memberi kami cucu. Dan.. cara terbaiknya ialah merelakan istrimu terlebih dahulu dengan membuka diri, Hendra," suara damai Oma Sukma terdengar.     

"Kenapa harus merelakan? Aku," kalimat ini juga di potong oleh orang lain dengan cara bicara tak kalah kakunya.     

Siapa lagi kalau bukan Opa Wiryo, "Karena putri Lesmana mustahil kembali ke tempat ini. Dan kau harus memberi keluarga ini keturunan!, Apa otakmu tidak bisa mencerna hal sesederhana ini."     

"Jika kalian menginginkan itu aku bisa memberikannya, tanpa harus mengatur hidupku, kalian pikir aku robot? Yang segalanya harus di program sesuai kehendak kalian," sungguh di sayangkan Hendra kesulitan menekan amarahnya, dia mulai meninggikan suaranya, keras, dan kembali bermulut tajam ketika marah besar.     

"Ya Tuhan Hendra.. Oma tidak bermaksud seperti itu," Sukma mulai resah menggenggam celemek makan yang biasa dia letakkan di atas roknya ketika menyantap hidangan. Celemek itu tergenggam di depan dadanya.     

"Maaf Oma aku benar-benar tidak suka cara Oma Sukma kali ini," Sukma terperanjat mendengar ungkapan Hendra. Sekasar apa pun, Hendra tak pernah sekalipun menampakkan rasa tidak suka atau muak di hadapan Oma Sukma secara langsung.     

Sedangkan Gayatri konsisten diam, ibu Mahendra sudah menduga apa yang bakalan terjadi. Perempuan ayu ini dengan acuh melanjutkan makannya seolah tidak ada yang terjadi. Itu cara Gayatri mendukung putranya. Sangat sulit di cerna dari sudut pandang nama pun. Tapi demikian -lah jalan hidup dan traumatis Gayatri membentuk dirinya. Dia memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan enteng.     

"Apa kau tidak sadar! Keluarga Lesmana menjatuhkanmu habis-habisan di ruang sidang? Mereka berani menginjak-injak martabat pewaris Djoyodiningrat?!" Wiryo menatap tajam Mahendra.     

"Apa anda tidak sadar? Semua yang mereka katakan benar?" Hendra melawan kata-kata kakeknya.     

"Tapi tidak benar ketika para pekerja yang di angkat jadi setara saudara mencakar tuannya," monolog Wiryo memper-keruh keadaan.     

"Aku tak menyangka pikiran Anda sempit itu," Hendra hampir saja menggunakan kata picik akan tetapi dia ganti dengan sempit karena masih ingat lawan bicaranya adalah seseorang yang menjadikannya ada.     

"Itu kenyataan," suara Wiryo dingin meninggi.     

"Kenyataannya aku bukan sekedar mencakar! Aku mencekik putri mereka, mengunci di kamar mandi hingga hampir mati, apa kamu lupa kenyataan itu!!" mendengar ini Sukma menutuk mulut terbungkamnya dengan jemari-jemari tangan kanan. Buru-buru ajudan perempuan Sukma berlari merengkuhnya membawa wanita paruh baya ini ke kamar.     

Demikian juga Nana, perempuan ini mengerjapkan mata berulang dan mendesahkan nafas gelisah tiap-tiap mendengar kalimat Mahendra.     

"Anda tahu apa yang lebih buruk dari itu," lelaki bermata biru meneguk air dalam gelas lalu meletakan benda yang terbuat dari kaca tersebut secara kasar, "Aku pernah memaksanya memenuhi hasratku padahal dia tidak mau, hinaan macam apa yang lebih buruk dari itu." monolog Hendra mematahkan monolog Wiryo terkait 'bawahan yang mencakar tuannya'.     

.     

.     

__________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.