Ciuman Pertama Aruna

III-23. Watak



III-23. Watak

Giliran Dea memasuki kamar mencari Pak Surya, dua buah alas yang berupa kain dengan bentuk persegi panjang ter gelar di sana. Dea mengerjapkan matanya di nakas ada susu putih yang tertangkap di minum setengahnya. Dea tahu pak Surya bersembunyi di balik lorong dan diam-diam mengamatinya. Simbol cinta dia suguhkan untuk Dea.     

Bukannya menyentuh susu dalam wadah bening, Dea malah mengenakan kain putih yang tergeletak. Gadis ini mengakhiri gerakan mengenakan seperangkat alat bermunajat dengan duduk rapi di atas alas berbentuk persegi panjang dengan lukisan Masjidil Haram.     

Melihat Dea tampak menunggunya, Surya mendekati gadis itu dan sempat tersenyum. Pria dengan usia yang cukup berjarak ini menuntun sujud mereka.     

Ketika semua telah usai dan tangan sang lelaki di sambut hidung mengecup perempuannya. Dea menatap pak Surya malu-malu sambil berkata lirih sekali, "Pak Surya boleh bantu Dea ambilkan susu," Mata Dea melirik gelas bening di atas nakas.     

Entah apa yang terjadi ada pria yang berulang kali membuang nafas dengan mulutnya seolah menetralkan diri.     

Tepat ketika gadis itu meneguk Susu perlahan. Surya malah mengusap dadanya berulang. Ada yang bergemuruh luar biasa di dalam sana.     

Dea membuat gelas itu tidak bersisa lalu menyerahkan kembali ke tangan Surya. Surya menunduk mengamati gelas kosong. "boleh aku membuat permintaan?"     

"Boleh," kata singkat yang meringkas deretan panjang gemuruh hati dua manusia.     

"Panggil aku Kak Surya, agar aku merasa kita tidak terpaut jauh usianya," mendengar ini ada yang tersenyum.     

"Maaf.. karena kebiasaan jadi kebablasan," ujar Dea sambil melipat dan merapikan kain putih yang menutupinya.     

Dea juga menyodorkan permintaan, menggerakkan tangannya supaya Surya berdiri. Gadis itu merapikan dengan melipat semuanya dia pergi menuju ruang di sebelah untuk melekatkan peralatan ibadah.     

Sesaat berikutnya ada lelaki yang terkejut bukan main, Surya dari tadi wira-wiri memikirnya cara jitu apa yang bisa meredakan rasa groginya.     

Giliran melihat Dea keluar dari pintu ruangan sebelah. Surya hanya bisa melakukan satu tindakan yang di sarankan sahabatnya. 'Tatapan matanya lebih lama dan temukan keberanianmu bahwa kamu yang terpilih dan dia pilih'.     

Benar sekali saran itu begitu ampuh. Gadis berbalut baju berenda di dekap erat suaminya dan Pria yang menemukan jodoh dengan gadis yang berjarak umurnya, akhirnya punya rasa percaya diri untuk menyatakan bahwa malam ini malam mereka.     

.     

.     

"Kak Surya,"     

"Hem.."     

"Aku dan Aruna PKL di kantor bapak, eh kakak.. Apa pak, eh kak Surya yang mengaturnya,"     

"iya,"     

"Kenapa begitu?"     

"Karena aku ingin lebih mengenal istriku, tapi aku akan menyembunyikannya dari Hendra, terkait nona Aruna PKL di DM grup. Supaya jadi kejutan,"     

"Oh, aku akan sampaikan pada Aruna,"     

"Bagus, Hendra pasti suka," ada yang merelakan lengannya jadi bantal sang istri.     

"Tapi.. Sebenarnya aku keberatan PKL di tempat pak Surya, nanti ketahuan doang aku sering panik-an. Ah' pokonya begitu deh," muka Dea mecucu, dia kurang setuju apa yang di lakukan suaminya, "Mianhaeyo (maaf)," dia yang menampilkan suasana hati buruk minta maaf.     

"Saranghae," ini suara Surya. Bicara ngawur, dia hanya tahu kata ini.     

"Lho...?? Jawabannya bukan itu, Mianhaeyo artinya minta maaf," Dea meluruskan.     

"Saranghamnida.." Surya tidak peduli. Dia hanya tahu kata ini. Yang artinya aku mencintaimu.     

"Komawoyo (terima kasih)," pipi Dea memerah.     

"Saranghae... Saranghamnida," Surya mengulangi logatnya buruk sekali, tapi gerakannya bisa membuat si perempuan membumbung tinggi. Surya memeluknya dan mengecup pipinya berulang kali.     

Mereka bercanda cukup lama.     

Hingga pada sebuah kesempatan sang pria menjelaskan maksudnya, "Aku tidak ingin mengulangi kesalahan Hendra dan Aruna. Mereka banyak terjebak dalam salah paham. Karena keadaan pelik Mahendra dan latar belakang pernikahan yang menyulitkan. Tak punya kesempatan untuk saling mengenali. Aku ingin mengenalmu, begitu juga denganmu ku harap Dea berkenan mengenaliku dengan baik," Surya memberi tutur untuk istrinya.     

Dan Dea mengangguk.     

"Persepsi itu seperti rasa makanan pada lidah kita. Lidah kita menganggapnya enak ketika kita sejak kecil di biasakan bahwa makanan jenis tertentu jauh lebih enak daripada jenis lainnya. Begitu juga dengan persepsi, otak kita menerima sebuah kebaikan berdasarkan kebiasaan yang dibangun pada diri kita sejak kecil," monolog Surya mengundang perhatian Dea, "seperti rasa bersihmu, akan berbeda dengan rasa bersiku. Begitu juga dengan level kategori baik versimu belum tentu sama dengan level kebaikan di dalam otakku, kita harus membuatnya Selaras. Supaya kita bisa berjalan bersama-sama dengan cara yang lebih baik."     

Dea mengangguk mengiyakan kalimat kalimat Surya. Sesaat berikutnya perempuan ini mencoba memberanikan diri untuk memeluk dada telanjang suaminya. Ini malam yang luar biasa untuk mereka.     

"Siap mencoba lagi," gurau Surya.     

***     

Akhir pekan menjemukan, demikian pikiran Hendra tertinggal di mansion yang menyajikan perempuan marahnya. Pintu gerbang rumah mewah telah terbuka selebar-lebarnya. Pintu menjulang dengan ukiran khas Jawa juga terbuka untuknya.     

Akan tetapi dia yang tersandera pikirannya, pada pintu yang tak berkenan di buka perempuannya menemukan hati dalam keadaan gelisah luar biasa.     

Rumah ini masihkah menakutkan bagi Aruna?     

Pertanyaan menyayat hati masih saja menggelitik pada dada ini. Melewati setiap pintu dengan rasa tak nyaman. Tentang bayang-bayang kapan perempuan mungilnya akan berlarian kembali di lorong-lorong rumah ini.     

Hanya saja Hendra tak lagi punya upaya untuk memaksa, tiap ingat tulisan-tulisan pelipur lara di buku kecil Aruna. Detik itu juga dirinya menyadari bahwa tiap manusia punya sisi ketakutannya.     

.     

.     

Baru juga sampai dan duduk di ruang tengah, kakeknya datang menggunakan kursi roda otomatisnya. Menatap dengan gerakan tangan meminta di ikuti. Kakek dan cucu ini memasuki ruangan yang tidak asing bagi mereka. Lebih tepatnya ruang kerja kakeknya. Tempat yang dulu menjadi awal dia berani menggenggam tangan Aruna, tempat gadis yang kini begitu samar statusnya.     

"Selesaikan perceraianmu, supaya semua jelas sebelum kau melangkah ke jenjang berikutnya," ini suara kaku kakek Wiryo.     

"Bukan di selesaikan tapi lanjutkan," Hendra duduk di sofa menghadap kakeknya, Lelaki bermata biru ini tidak lagi seperti dulu yang selalu tegang ketika berkomunikasi dengan tetua Wiryo. Dia bisa duduk dengan punggung bersandar pada sofa, bahkan kakinya tertumpu satu sama lain.     

"Jangan mengharapkan sesuatu yang kosong, masih saja kau begitu. Buang bajumu yang rusak, yang tak bisa di pakai, lalu beli baju baru," kata tetua Wiryo yang terkesan blak-blakan menilai gadis yang terlampau banyak menyusahkan cucunya.     

"Istriku bukan baju, aku tak senang mendengarkan itu. Kebutuhan Anda sekedar penerus, bukan?. Aku akan mengujudkannya," Hendra berdiri meninggalkan Wiryo.     

"Berhentilah dulu!" Pinta kakek Wiryo.     

"Aku kesini untuk makan bukan untuk berdebat dengan Anda," Hendra mulai bisa mengatur emosinya, dari jalan panjang caranya memahami perempuan sejalan itu juga dia tahu makna menghargai orang yang lebih tua, Walaupun tetua Wiryo masih dengan wataknya.     

.     

.     

Tiap-tipa penyakit di percaya ada obatnya. Tapi, sifat-sifat yang menyusun watak butuh kesadaran sendirinya. Aksioma Hendra menyelamatkan hubungan cucu dengan kakeknya.     

.     

.     

__________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.