Ciuman Pertama Aruna

III-20. Mata Itu Bercerita



III-20. Mata Itu Bercerita

Baru sampai rumah Surya, dua perempuan langsung menyusup ke kamar mandi. Kini giliran Hendra dan Surya duduk nyaman pada ruang tengah perumahan mewah.     

Gerak gerik Hendra tertangkap kurang nyaman. Pria berambut coklat tersebut bingung harus melakukan apa ketika handphonenya tidak ada.     

"Surya boleh pinjam Handphone mu?" dia perlu minta maaf pada Nana terkait menghilangkannya dirinya dari ruang kerja dan tak bisa ikut serta dalam meeting yang dia agendakan sendiri.     

Tampaknya Surya tidak mendengar, pria dengan rambut hitam lebat tersebut sedang seru menonton sesuatu di dalam handphone. Dia tidak menyadari ketika Hendra mendekat dan menangkap kenakalannya.     

"Ha Haha," ini tawa Hendra. Menertawakan Surya sedang nonton video yang 'tidak-tidak'.     

"Dari kapan kau menonton video macam begitu, ha ha ha," Pria bermata biru ini tertawa, sambil terus saja membuat guyonan buat Surya, dia kian menjadi-jadi sampai sudut matanya berair. Surya mendekap dan menutupnya rapat-rapat.     

"Tutup mulutmu!" gertak Surya, celingukan. Ke sana kemari kepala itu menoleh memastikan guyonan nakal sahabatnya tidak bisa terdengar istrinya.     

"Jujur, aku tidak mengira kau bisa nonton video semacam itu, andai Dea tahu dia akan beristigfar mengutuki kelakuanmu," mendengar pernyataan pelik yang di luncurkan mulut nakal Mahendra. Surya merah padam, ini bukan kemarahan melainkan rasa malu yang membumbung tinggi.     

"Aku belum melakukan itu," bisiknya lirih, tak ada pria yang berkenan mengungkapkan hal pribadinya kecuali mereka-mereka yang kurang tanggungjawab. Entah bagaimana Surya bisa berani menyatakan kegundahan hatinya dan sayang, amat sayang sekali bukan keprihatinan yang di hantarkan Mahendra. Akan tetapi tawa menggelegar tidak tahu diri, dan tanpa simpati. Lupa dirinya lebih parah dari pada lelaki yang kini geram dengan alis menyatu.     

Melihat raut muka Surya mirip serigala siap menerkam domba yang mengejeknya di balik pagar pembatas yang di pasang pemiliknya. Hendra menelan tawanya.     

Dan sekarang giliran Surya bertanya, "Hari ini pernikahanku yang ke lima hari, sesuatu yang wajar sebab Dea memang masih berhalangan, Bagaimana denganmu?" ada senyum licik yang terbit di bibir Surya.     

Senyuman yang menggiring Mahendra larut menghitung waktu dan dia akhirnya malu. Dirinya dan Aruna melewati rentang masa demikian panjang, untuk sekedar saling mendapatkan.     

"Kenapa kau mengkhawatirkan hal yang sudah pasti bisa kamu lakukan," maksud Hendra, Surya lebih normal dari dirinya.     

"Dea sedikit berbeda tanpa hijabnya, dia terlalu menarik dan kau tahu rambunya? pendek sebahu. Kadang aku melihatnya masih sambil gemetaran, dia sangat muda, lebih muda dari adik-adiku," demikian lelaki ini menggulirkan pengakuan.     

"Kau hanya butuh menatapnya lebih lama," ini kalimat Hendra, "Aku cukup menatap mata Aruna dan mata itu seolah bercerita tentang keinginannya, mereka pandai menyembunyikan segalanya di hati tapi tidak dengan matanya. Percayalah, dan yakini kamu yang terpilih dan di pilih," kembali Hendra bercerita. Menarasikan rasa yang panjang sebelum hari-hari cerah ini datang.     

"Kau lebih beruntung dariku, kalian terikat oleh pernikahan yang layak di banggakan bersama. Aku pernah jatuh cinta sendirian, mengharap sendirian, dan sakit berkepanjangan," Hendra tertangkap perlahan menegakkan kakinya. Dia berdiri melewati Surya, sedikit membungkuk, membisik kala berdekatan, "Sekarang aku sudah mendapatkannya, seutuhnya, bahkan aku berani bertaruh denganmu siapa dari kita yang lebih dahulu punya bayi," lelaki bermata biru tersenyum menyeringai, sambil lalu dirinya berjalan menyambut perempuan yang telah bersih sempurna.     

"Ayo kita pulang,"     

***     

Ruang kerja sederhana dengan fasilitas seadanya, furniturnya pun bukan premium seperti tempatnya dulu bertakhta. Awal mula dia memulai dari kamarnya sendiri dan kini dimulai dari numpang di ruko tempat adiknya. Anantha mengulangi misinya yang runtuh sekejap sebab kelalaian memahami dahsyatnya siasat seorang penipu ulung menjelma menjadi sahabat karib.     

Pintu ruko itu di ketuk oleh seseorang, lelaki tersebut memang punya janji dengan klien yang menawarinya untuk ambil bagian pada sistem quick count pemilu daerah serentak di beberapa wilayah Indonesia.     

Pemberi tawaran tahu dengan jelas siapa pria ini, mantan CEO sejumlah aplikasi Online menjanjikan. Kodingnya bukan sekedar susunan simbol-simbol matematika sederhana melainkan lebih kepada seni yang menghasilkan teknologi terkini.     

Anantha baru saja turun dari lantai tiga tempatnya mendekam selama beberapa pekan bersama segelintir karyawannya yang rela mengorbankan kesenangan dan lebih mengutamakan pertemanan. Anantha melewati tangga demi tangga menuju lantai pertama. Ruko ini milik Alia dengan mainan barunya yakni jasa di bidang marketing, konsultan pemasaran dan sebangsanya.     

Aliana menempati lantai satu dan dua sedangkan kakaknya cukup berbahagia di ijinkan mendapatkan fasilitas gratis tanpa berbayar di lantai tiga.     

Sempat Anantha berjabat tangan dengan koleganya, dia menamati lembaran MOU dengan kepala surat Nara&Tv. "CEOmu tahu tentang penawaran ini?"     

"CEO??" kata yang terbit dari salah satu kru acara berita utama stasiun TV milik Mahendra.     

Anantha tersenyum, "Nara&TV anak perusahaan Djoyo Makmur Grup -kan?"     

"Iya benar," salah satu dari mereka bersuara.     

"CEO Djoyo Makmur Grup atau atasanmu sengaja membuat penawaran padaku?" Anantha menyelidik.     

"OH.. Keputusan semacam ini tidak mungkin melibatkan CEO segala," salah satu dari mereka menjawab.     

"Kami memilih mas Anantha, sebab kami tahu kapasitas Anda mas, itu pun hasil diskusi dengan tim kreatif," satunya menyahut.     

"Oke, aku terima," Anantha meraih pena yang tergeletak di sampingnya, "aku pegang kata-kata kalian," integritas Anantha tetaplah sama dari sejak dia sekedar penjaga adik-adiknya hingga di masa tersulitnya saat ini. Seseorang akan kelihatan aslinya kala dia berada di titik tertinggi hidupnya atau di paling dasar roda menggulingkannya.     

Di antara gerakan pena menggores kertas MOU ada yang tersenyum senang, Aliana –lah yang sebenarnya bekerja di balik tangan memuluskan jalan kakaknya mendapatkan penawaran pertama. Bukan hal mudah meyakinkan stasiun Televisi sekelas Nara&Tv, terlebih perhelatan akbar yang membutuhkan ke akuratkan tingkat tinggi.     

Mereka yang bertamu baru pulang, Anantha juga baru menutup pintu dan membuka melambaikan tangan.     

"Kak... KAK ANANTHA," ini teriakan Nabila, perempuan Inferior yang dilarang Aliana memanggil Anantha pak, 'pokoknya semua cewek yang jadi anak buahku wajib memanggil kakakku "KAK" tidak pakai protes. Dan siapa saja yang bisa meluluhkan hatinya dapat bonus sepuluh juta, kontan' suaranya melengking berapi-api. Padahal perempuan ini dipanggil bu oleh anak buahnya. Jadi bisa dibayangkan kelunya lidah karyawan Alianan menyebut Anantha "KAK".     

Bisa di bilang ini cara licik perempuan superior mengatur strategi dalam menyegerakan jodoh untuk kakaknya.     

"Ada apa menjerit," Anantha bergegas menuju arah sumber suara.     

"Ketuban bu Alia pecah,"     

.     

.     

__________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     

Biar makin seru bacanya follow Instagram => bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.