Ciuman Pertama Aruna

III-36. Kilatan Cahaya Merah



III-36. Kilatan Cahaya Merah

Pandangan Herry merunut arah mata sang nona, dan dia menemukan tuannya di ujung sana. Berjalan beriringan dengan sekretaris Nana, keduanya terlihat menenteng wadah belanja.     

Herry ikut terbawa suasana, pria ini terdiam sesaat. Sebelum akhirnya ada perempuan mungil yang menyerobot kantong belanja secara tiba-tiba.     

Perempuan mungil tersebut berlari menuju lift. Herry masih dalam mode kosong, antara dua pilihan membingungkan. Berlari mengejar nona yang pintu liftnya mulai menutup. Atau memberitahu tuannya yang sedang berjalan di ujung sana.     

Dalam keadaan terdesak Herry akhirnya memilih berlari, harap-harap cemas bisa menyusup pintu lift yang perlahan menghilangkan penampakan nonanya. Herry menyodorkan tangan kosongnya, untung masih ada kesempatan. Dia berdesakan dengan pasang-pasang mata yang terganggu oleh kedatangan dirinya, berupaya menyusup mendekati perempuan mungil murung yang memilih pergi dari pada menuntut suami.     

Herry membuat pesan sembunyi-sembunyi untuk lelaki yang kini di kesali oleh nonanya.     

[Tuan, kami baru saja melihat tuan jalan bersama sekretaris Nana. Mohon maaf nona mengetahuinya, dan dia marah saat ini] Herry sudah mirip bocah kecil yang sedang laporan pada bapak guru Bimbingan konseling.     

Hendra belum membacanya.     

Sampai pintu lift terbuka lagi-lagi perempuan bergegas pergi tanpa peduli dengan Herry yang berupaya mengajaknya bicara.     

"Nona, biarkan aku saja yang bawa kantongnya," Herry yang mengharap dirinya diperkenankan membantu Aruna, di abaikan begitu saja.     

.     

Perempuan paling sangar ketika racun rasa cemburu telah menyebar.     

Mereka seperti punya kilatan cahaya merah yang di sebut murka.     

Diam seribu bahasa tanpa suara, tapi tidak dengan simbol wajahnya.     

Ada guratan halus yang menceritakan letupan hati.     

Mirip bara api berkobar membabat hutan belantara.     

Ini bukan tentang kebencian, ini sajak panjang kekecewaan.     

.     

.     

Perempuan duduk termenung membuang pandangan. Tangannya mengepal memangku wajah. Dia sedang merenung, meratapi rasa terpukul. Pukulan tanpa sentuhan. Aneh bukan?     

"Menyebalkan," Umpatnya ke udara.     

Bip     

Sebuah pesan datang, lagi-lagi dia abaikan.     

Bip bip bip     

Kini bukan lagi pesan yang tersaji, lebih dari itu. Kontak person bertuliskan 'suami super sibuk' meronta-ronta ingin di sapa.     

Percuma! Perempuan ini terlanjur kecewa. Anggap saja si sibuk yang ternyata masih sempat jalan-jalan mengeringi perempuan dengan paras memesona. Perlu mendapatkan hukuman setimpal.     

Setimpal itu seberapa? Dia sendiri tak tahu. Yang pasti sebesar gumpalan hati yang berkobar-kobar sebab ada yang berani penggoresan batang korek api.     

Aruna memojokkan lelaki bermata biru, Hendra tak lagi bisa memilih benda-benda yang akan jadi hadiah istrinya. Salah paham memang menyebalkan. Dia meminta kunci mobil pada ajudannya lalu memilih menyingkir membuntuti map yang di share Herry.     

Sempat membuat Nana kecewa, Ajudannya tak jenak.     

***     

[Kalian akan pergi ke mana?] tanya Hendra pada pesan whatsapp-nya. Herry tak bisa membalas pesan ini dia sedang menyetir mobil. Terpaksa membuat panggilan dengan mode curi-curi memanggil Hendra dengan sebutan 'Kau' dengan nada di buat-buat.     

[aku mau mengantar nonaku ngajar, kau butuh apa meneleponku?]     

[Kenapa kamu, istriku masih marah. Takut kalau ketahuan memberitahuku]     

[Sukurlah kau paham] sungguh menakutkan bagi Herry yang berada di antara pasangan suami istri ini.     

[Mengajar anak-anak? Tempat bisanya –kan] tanya Hendra.     

[Aku baru pertama kali ini ngantar nona, eh bosku. Begitu deh intinya] Herry membuat jawaban dengan logat pertemanan. Kekeh Hendra sempat terdengar.     

***     

Mengetahui Hendra punya agendanya sendiri Nana kembali ke rumah sakit memberi tahu pria yang posisinya sedang terancam.     

Pembicara antara Andos dan Hendra dalam perjalanan meninggalkan rumah sakit beberapa waktu lalu cukup mengkhawatirkan untuk posisi Nana dan pria yang mengusung kecerobohannya.     

Nana mendatangi pria itu dengan mata awas, jalannya pun berhati-hati sebelum akhirnya sampai di tempat yang menyajikan pria dengan tangan terluka. Luka bakar yang berbalut perban.     

Nana menceritakan pengetahuannya, pria ini tak mampu berbaring lagi. Dirinya sadar dan amat sangat mengerti sebentar lagi dia akan benar-benar tertangkap, dan tentu saja akan jadi malapetaka besar untuknya.     

"Menurutmu aku harus bagaimana?" Dia yang berbicara sedang benar-benar frustrasi. Memegangi kepalanya dengan dua telapak tangan menyusup ke sela-sela rambut.     

"Pergi ke luar negeri, akan ku berikan semua fasilitasmu di negara kami," Nana memberikan sarannya.     

"Bagaimana jika aku tetap di tangkap?" dia mulai menyikap selimutnya. Kakinya juga dalam kondisi kurang baik. Kaki kanan dan tangan kanan memiliki luka bakar. Dia berjalan pelan sambil meringis.     

"Kenapa kamu berdiri duduklah dulu!" Nana sedikit miris melihatnya.     

"Bagaimana aku bisa duduk!!" Pria ini marah, masihkah dirinya bisa bersantai saat kondisi segenting ini. Cuma butuh hitungan jam mungkin saja dia tertangkap dengan mudahnya.     

"Pergilah jauh dari sini!" Nana mengusulkan idenya.     

"Aku di tumbuh-kan di Djoyo makmur grup, aku besar dan mengabdi di tempat tersebut sepanjang hidupku. Apa kau pikir aku tidak tahu. Pergi ke ujung dunia pun, kecuali ke hutan belantara. Mudah.. mudah sekali menangkapku," dia yang bicara tertangkap frustrasi.     

Nana terduduk memahami keadaan kondisi yang ada. Sedangkan pria di hadapan Nana sibuk menyusupkan pakaian ke dalam tas sedapatnya.     

"Bagaimana dengan menemui tetua, dan kau mengakuinya," Mata Nana dan pria tersebut beradu seketika.     

"Dia ayah kita bukan, tetua Wiryo akan memaafkan putranya, walaupun tetap ada hukuman," Kembali Nana memberikan gambaran.     

Pria tersebut tertunduk. Dan sesaat berikutnya dia membuka mata lebih lebar, sebuah cara mengatasi keyakinan.     

"Baiklah dengan satu syarat," katanya, "Aku sejujurnya tak akan punya muka pada tetua, untuk itu..." ungkapan pria yang tak lagi semaskulin biasanya terpotong Nana.     

"Kita bicara di mobil saja," tuntun Nana membuka pintu dan mencoba memasang ekspresi datar tak mencurigakan.     

***     

"Herry.. mobil di belakang mengikuti kita -kah?" Aruna menaruh rasa curiganya. Sebuah mobil sport tak asing seolah mengekor di belakang. Sudah cukup lama rasa-rasanya.     

"Ah' perasaan anda saja," Herry menduga bisa jadi mobil tersebut ialah tuannya, tadi dia sempat menyatakan ingin menyusul istrinya.     

Aruna kembali menoleh ke belakang, mobil yang di rasa tak asing perlahan melambat. Tertinggal kian ke belakang, dan perempuan ini menutup rasa penasaran.     

.     

.     

Matahari membuat bayangan condong ke sisi kanan. Ketika lelaki bermata biru menampakkan kaki pada halaman sebuah bangunan yang sengaja dia bangun sebagai kado pernikahan untuk istrinya.     

Kado yang tak pernah tersampaikan.     

Di sana, di depannya terdapat bangunan dua lantai dengan alas batuan marmer yang memberi kesan kokoh dan natural.     

Lelaki bermata biru menarik bibirnya hingga sudut pipi tergores menampilkan lesung yang menawan.     

Dia di sambut bocah-bocah kecil berlarian sembarangan. Mereka tampaknya memainkan sepak bola. Sebab bola sempat menggelinding di kakinya.     

"Om' maaf, bolanya boleh tendang pada kami," salah satu bocah berteriak lantang.     

"Okey," katanya, sembari menggiring bola menuju bocah-bocah kecil yang memandangi Hendra dengan cara berbeda.     

"Apa aku pernah melihatmu?" salah satu berkata begitu. Hendra meletakkan ujung jari telunjuknya di bibir. Dan si lelaki kecil mengangguk.     

Hendra melanjutkan langkahnya, dia berjalan menuju tempat yang lantainya tak berdecit lagi, berharap bisa mengintip seorang yang sedang mengajar.     

Lorong-lorong di depannya menyajikan kelas-kelas yang di penuhi pelajaran. Tempat ini sengaja aktif di sore hari, menyesuaikan anak-anak yang terpaksa bekerja di pagi hari membantu orang tua mereka.     

Dari dua kelas yang terlewati belum juga menampilkan perempuan yang di cari. Mata biru sedikit terganggu, pada kelas yang suaranya riuh luar biasa. Berbeda dengan dua kelas sebelumnya. Menyulut rasa penasaran Mahendra, untuk mengintip pada sudut jendela terbuka.     

"Heeee," lelaki ini memasang senyum simpul lambang kelegaan. Yang ramai penuh kebisingan ternyata kelas istrinya.     

Perempuan mungil di dalam sana sedang membuat tepukan berulang sambil memberi instruksi pada anak-anak yang sibuk memperebutkan benda-benda entah apa.     

"Kakak Aruna pulang aja!" Ini pekikannya, yang terkesan di buat-buat. Dan ternyata berhasil menyulut perhatian anak-anak riuh redam jadi tenang.     

Mereka terdiam, berjalan ringan dan kian cepat menuju duduk semula. Aruna memang memiliki daya magis .... .. ...     

.     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.