Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Meninggalkannya



Meninggalkannya

DOR!     

Tubuh Aiden langsung tersentak saat ia merasakan tembakan tersebut. Sedetik kemudian, rasa sakit yang luar biasa mengikutinya.     

Baju putihnya dengan cepat berubah menjadi warna merah. Merah darah …     

Semua orang di sekitar masih berlari dengan cepat ke segala arah, berusaha untuk melarikan diri sambil berteriak ketakutan. Sementara para pengawal Aiden langsung menangkap Natali.     

Anya melihat kejadian itu seperti kejadian di film. Semuanya berjalan dengan sangat lambat di matanya.     

Ia bisa melihat semua orang berlari dengan ketakutan …     

Ia bisa melihat Aiden yang berusaha untuk menahan Natali …     

Ia bisa melihat tubuh Aiden yang ambruk ke lantai …     

Ia bisa melihat semuanya dengan jelas.     

"AIDEN!" Anya berteriak dan langsung berlari turun dari atas panggung menuju ke arah suaminya.     

Anya tidak tahu apakah Natali masih memegang pistolnya atau tidak. Ia sama sekali tidak peduli Natali berada di sana. Satu-satunya yang terlihat di matanya hanyalah Aiden.     

Keara yang terduduk di atas panggung berusaha keras untuk menyeret kakinya agar bisa melihat ke arah bawah panggung. Apa yang terjadi?     

Ia melihat Aiden terjatuh ke lantai dan Natali berteriak seperti orang gila.     

Nico dan Tara yang berada di dekat Aiden langsung menghampirinya dengan cepat. Tara langsung berlutut di samping tubuh Aiden dan memegangi perut Aiden dengan kedua tangannya, sedang berusaha untuk menghentikan pendarahan dari lukanya.     

Tidak! Bukan ini yang ia inginkan!     

Keara sama sekali tidak pernah berniat untuk melukai Aiden.     

Kalau Aiden mati, apa yang harus ia lakukan pada anak di dalam kandungannya?     

Anya merasakan air mata menghalangi pandangannya saat yang berlari menuju ke arah Aiden. Tangannya gemetar hebat saat menyentuh baju Aiden yang sudah bersimbah darah.     

Aiden yang sedang tergeletak di lantai masih bisa tersenyum lega saat menyadari bahwa istrinya baik-baik saja. Anya baik-baik saja …     

"Anya, aku mencintaimu. Kalau aku …"     

"Kamu akan baik-baik saja. Aiden, aku tidak bisa hidup tanpamu. Aku tidak akan bisa hidup sendirian tanpamu. Apakah kamu mendengarku? Kamu tidak boleh meninggalkan aku!" teriak Anya. "Siapa pun tolong telepon ambulans. Tolong."     

"Harris sudah menelpon ambulans. Paman, kamu tahu ia membawa pistol. Mengapa kamu melawannya seorang diri," Nico juga sudah hampir menangis melihat pamannya seperti ini. Tetapi ia harus tetap tegar. Ia tidak boleh membuat bibinya semakin panik."     

"Diamlah!" Tara sudah terbiasa menghadapi situasi yang membahayakan seperti ini sehingga ia tampak sangat tenang. "Aiden, jangan mengatakan apa pun dan tetap jaga kesadaranmu."     

Tara melirik ke arah perut Anya dan kemudian memandang ke arah Aiden, seperti sedang mengatakan bahwa Aiden harus bertahan demi anak yang ada di kandungan Anya.     

Tetapi Aiden sudah kehilangan terlalu banyak darah. Wajahnya menjadi semakin dan semakin pucat.     

Tara tidak berani bergerak sedikit pun. Ia terus menekan luka di perut Aiden dengan kencang, berusaha untuk menghentikan darah yang terus mengalir.     

"Aiden … Aiden …" Anya memegang tangan Aiden erat-erat. Tetapi ia bisa merasakan genggaman tangan Aiden padanya semakin lama semakin melemah. Tangannya pun semakin dingin.     

Melihat darah yang terus mengalir dari perut Aiden, ia menangis seperti anak kecil yang tidak berdaya. "Aiden, kamu harus bertahan. Ambulans-nya akan segera datang."     

"Jangan takut. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu," jawab Aiden sambil tersenyum lemah.     

"Jangan mengatakan apa pun. Kamu akan baik-baik saja," Anya terus menggosok tangan Aiden, berusaha untuk menghangatkannya.     

Tara yang berlutut di samping Aiden sudah mengerahkan semua tenaganya untuk tetap bertahan pada posisinya, tetapi ia tidak berdaya.     

"Nico, cepat keluar dan cari tahu mengapa ambulans-nya belum datang," desak Tara.     

Rasa takut, panik, tidak berdaya …     

Semua perasaan itu seolah bercampur aduk di benak Anya. Tidak pernah sekali pun yang berpikir bahwa ia akan kehilangan Aiden. Tetapi darah yang menggenang di lantai membuatnya sadar bahwa pria di hadapannya ini bukan dewa yang tidak akan pernah mati.     

Aiden yang ia anggap sebagai pria sempurna, kali ini tergeletak lemah di hadapannya.     

Aiden mungkin saja akan meninggalkannya untuk selamanya…     

Ia bisa kehilangan Aiden untuk selamanya …     

"Aiden, aku benar-benar mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Aku pikir dua tahun sudah cukup bagiku untuk melupakanmu, tetapi ternyata aku sama sekali tidak bisa menghapusmu dari hatiku. Aku ingin hidup bersamamu hingga seumur hidupku. Kamu tidak boleh meninggalkanku. Aku tidak akan membiarkanmu mati dan meninggalkan aku!"     

"Aku juga tidak ingin berpisah darimu. Aku …" air mata menetes di sudut mata Aiden.     

"Paman …" Nadine menangis melihat kondisi pamannya yang semakin parah.     

"Nadine, kalau aku … Tolong jaga bibimu untuk aku," kata Aiden.     

"Paman, kamu akan baik-baik saja. kamu yang harus menjaga bibi. Apakah kamu mau anakmu lahir tanpa ayah? Demi anak di dalam kandungan bibi, kamu juga harus kuat," kata Nadine sambil sesunggukan.     

Meski Nadine mengatakannya dengan tidak jelas karena tangisannya, Anya bisa mendengar Nadine menyebut mengenai anak.     

"Anak siapa?" Anya menatap ke arah Tara dengan air mata di wajahnya, terlihat bingung.     

Tara merasa semakin pusing dan kemudian ia melotot ke arah Nico. Adik Nico ini benar-benar bodoh.     

Di saat-saat seperti ini, ia malah membahas mengenai anak di dalam kandungan Anya. Bagaimana kalau Anya shock dan tidak kuat menerima semua ini sekaligus?     

Ini bisa membahayakan Anya …     

Pada saat ini, Tara sedang sibuk untuk membantu Aiden dengan seluruh kekuatannya. Tetapi ia juga masih harus menjelaskan kepada Anya mengenai kehamilannya.     

"Anya dengarkan aku baik-baik. Jangan terlalu emosional. Tarik nafas dalam-dalam. Aiden akan baik-baik saja," kata Tara, memulai penjelasannya. "Tiga bulan pertama adalah masa-masa yang paling membahayakan dalam kehamilan. Aku khawatir tubuhmu terlalu lemah untuk mempertahankan kehamilanmu, sehingga aku tidak memberitahumu karena aku takut kamu akan sedih. Kamu harus tetap kuat. Demi Aiden juga. Sekarang tenanglah," kata Tara.     

Anya terdiam sejenak dan kemudian ia menunduk, memandang ke arah perutnya.     

Ia sedang mengandung.     

Ia sedang mengandung anaknya dan anak Aiden.     

"Aiden, apakah kamu dengar? Aku sedang mengandung anak kita. Kamu akan menjadi ayah," Anya memandang Aiden dengan penuh harapan. "Kamu harus bertahan. Demi aku, demi anak kita …"     

Wajah Aiden semakin memucat. Ia hanya bisa mengangguk dengan lemah, tidak mampu untuk menjawab kata-kata Anya.     

Semua orang di sana benar-benar panik dan ketakutan, terutama Anya. ia hanya bisa memegang tangan Aiden dengan erat dan mencium punggung tangan Aiden berulang kali.     

"Aku mohon padamu. Jangan tinggalkan aku. Aku mohon …" wajah Anya penuh dengan air mata.     

Saat Tara merasa tangannya semakin kram dan tidak mampu untuk bertahan lagi, akhirnya Harris datang bersama para petugas medis.     

"Aiden, ambulans-nya sudah datang. Bertahanlah," kata Anya dengan suara tercekat.     

Para petugas medis langsung mengambil alih pertolongan pertama dari Tara dan membawa Aiden menuju ke arah ambulans.     

Tara terlihat sangat kelelahan. Keadaan yang sangat membahayakan tadi juga membuat seluruh energinya terkuras. Tangannya terasa keram dan kakinya kesemutan karena terlalu lama berlutut.     

Nico langsung menopangnya saat Tara bangkit berdiri. "Apakah kamu baik-baik saja?" Tara mengangguk sambil tetap memandang ke arah ambulans.     

Anya mengikuti para petugas itu dan hendak memasuki ambulans, tidak mau berpisah dengan Aiden. Tetapi seorang petugas langsung menghentikannya dan memintanya untuk menaiki kendaraannya sendiri bersama dengan keluarga yang lain.     

Tara langsung menghampiri Anya dan merangkulnya. "Anya, biar Harris yang menemani Aiden. Jangan khawatir, ia akan baik-baik saja. Kamu ikutlah denganku di mobil Nico."     

Air mata Anya terus mengalir saat semua orang berusaha untuk memisahkannya dengan Aiden. Ia menutup mulutnya, berusaha untuk menahan tangisnya. Ia takut suara tangisannya akan membuat Aiden khawatir seperti biasanya.     

"Bibi, ambulans-nya sudah berangkat. Ayo kita ke mobil dan menyusul mereka," Nico memandang ke arah Nadine dan Nadine langsung menggandeng Anya, menuntunnya ke arah mobil Nico.     

Mobil mereka bergegas mengikuti ambulans. Setelah masuk ke dalam mobil, Anya langsung menangis sekeras-kerasnya. Ia memandang tangannya yang sekarang gemetaran, tangan yang sama dengan yang sebelumnya memegang tangan Aiden dengan erat.     

"Anya, jangan menangis. Ingat anakmu dan Aiden," kata Tara sambil menghapus darah di tangannya dengan tisu basah.     

Anya langsung berhenti menangis. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk menahan emosinya.     

Nadine menatap wajah Tara yang galak dan langsung membela Anya. "Kak Tara, jangan membuat bibi semakin ketakutan!"     

"Siapa yang suruh kamu memberitahunya mengenai kehamilannya di saat seperti ini. Terlalu sedih dan emosional seperti ini bisa membahayakan untuk kehamilannya!" kata Tara, menegur Nadine karena terlalu gegabah.     

"Maafkan aku. Aku terlalu panik tadi sehingga tidak sempat berpikir sebelum mengatakannya," kata Nadine dengan penuh penyesalan.     

"Tara … Perutku sakit," Anya tersentak saat merasakan sakit di perutnya. Ia tidak bisa menangis lagi karena saat ini rasa sakit yang ia rasakan membuatnya ketakutan setengah mati.     

Apakah ia juga akan kehilangan anaknya?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.