Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Mengemis Cinta



Mengemis Cinta

Satu minggu kemudian, Aiden boleh pulang dari rumah sakit karena kondisinya yang semakin membaik. Ia sudah tidak perlu menggunakan kursi roda lagi setelah menjalani terapi.     

Anya sudah pulang terlebih dahulu dari rumah sakit karena demamnya sudah turun. Ia hanya terlalu kelelahan dan tidak bisa tidur dengan nyenyak karena tidak ada Aiden di sampingnya. Setelah satu hari di rumah sakit, keadaannya sudah pulih.     

Ditambah lagi, Aiden sudah bangun dari komanya. Berita yang membahagiakan itu tentu saja membuat semangat Anya untuk sembuh semakin menguat.     

Setiap hari, Diana datang untuk mengirimkan sayur-sayuran segar yang ditanamnya untuk Anya dan Aiden. Ia juga menemani Anya setiap hari karena khawatir terhadap kondisi putrinya.     

Tidak hanya Diana saja, Tara, Nico, Harris dan Nadine juga selalu datang setiap hari. Mereka datang untuk sarapan dan makan malam bersama dengan Anya. Di hari libur, mereka bahkan datang untuk makan siang. Setiap hari, rumah Anya dan Aiden terasa seperti pesta.     

Tidak ada kata kesepian lagi. Selalu ada anggota keluarga yang bersedia datang untuk menemani Anya, hanya sekedar mengobrol atau makan bersama.     

Rasanya, kebahagiaan Anya sudah lengkap, dikelilingi oleh orang-orang yang dicintainya.     

Setiap hari terasa sangat manis dengan adanya semua anggota keluarganya. Hidupnya akan lebih sempurna saat anak kembarnya lahir di dunia. Anya dan Aiden sudah tidak sabar menantikan hari itu.     

…     

Malam ini, Nico memantapkan dirinya untuk melamar Tara.     

Ia sudah merencanakan lamaran ini sejak lama, tetapi tidak kunjung terlaksana karena kejadian yang menimpa keluarganya.     

Sekarang, seluruh keluarganya berkumpul di tempat itu dan Nico merasa bahwa ini adalah saat yang tepat untuk melamarnya secara resmi.     

Harris dan Nadine membantunya untuk mempersiapkan semua acara lamaran ini, dari fotografer, dekor, kembang api dan sebagainya. Aiden dan Anya akan menjadi saksi bagi mereka. Untuk memeriahkan suasana, ia juga mengundang Raka, Jonathan, Ivan dan juga Raisa.     

Nico mengatakan kepada Tara bahwa hari ini adalah pesta untuk merayakan kesembuhan Aiden agar rencananya tidak terbongkar. Tetapi selama makan malam, Anya bisa melihat Nico begitu gugup hingga tidak fokus.     

Terkadang ia akan menggoyang-goyangkan kakinya untuk mengurangi kegugupannya. Terkadang ia melirik ke arah Tara dengan cemas, seolah berusaha untuk menelaah pikirannya.     

Apakah Tara akan menerimanya? Bagaimana kalau Tara menolaknya?     

Melihat tingkah Nico yang tidak seperti biasanya, Anya merasa ingin tertawa.     

Sampai saatnya tiba, di taman rumah Aiden, Nico berlutut di hadapan Tara dengan sebuah kotak cincin di tangannya. "Tara, menikahlah denganku!"     

Kembang api bermekaran di udara, tepat saat lamaran itu terucap.     

Tara terdiam di tempatnya, tidak mengira bahwa Nico akan melamarnya hari itu juga. Setelah diam beberapa saat, ia berbalik dan hendak pergi dengan panik. Namun, Anya langsung menghentikan langkahnya.     

"Tara, kamu mau ke mana?"     

"Aku haus. Aku ingin minum," Tara terlihat sangat panik. Ia berlari ke dalam rumah untuk mengambil air minum dan berusaha menenangkan dirinya.     

Nico terpaku di tempatnya dengan tatapan putus asa. Ia bingung harus berbuat apa sekarang.     

Anya yang melihatnya tersenyum tipis dan menepuk pundak Nico untuk menenangkannya. Setelah itu, dengan perutnya yang sudah semakin membesar, ia masuk ke dalam rumah untuk menyusul Tara.     

"Tara, ada apa denganmu?" tanya Anya sambil menepuk pundak Tara.     

"Aku … Aku takut," jawab Tara dengan gugup.     

Meski terlihat sangat percaya diri, sebenarnya Tara bukanlah wanita yang pemberani. Ia terlihat seperti sosok yang mandiri karena ia terbiasa bergantung pada dirinya sendiri. Ia tidak mau bergantung pada orang lain karena takut orang lain akan melukai dan mengecewakannya.     

Setelah semua yang terjadi di Keluarga Atmajaya, tentu saja ia merasa cemas mengenai hubungannya dengan Nico, mengenai masa depan mereka.     

Apakah hubungan ini bisa berjalan dengan lancar?     

Apakah mereka bisa bahagia selamanya?     

Bagaimana kalau suatu hari nanti ia berpisah?     

Bagaimana kalau ia harus berakhir sendiri lagi dan kehilangan orang-orang yang dicintainya?     

"Apakah kamu tahu, Nico sudah berniat untuk melamarmu sejak lama? Sejak aku kembali di bulan Februari dan menyelesaikan semua kesalahpahamanku dengan keluarga Atmajaya, ia sudah ingin melamarmu dan menjadikanmu sebagai istri sahnya. Tetapi banyak hal yang terjadi hingga ia tidak punya pilihan untuk menundanya. Nico sudah menunggumu, lebih dari dua tahun. Kalau itu bukan cinta, lalu apa sebenarnya cinta itu?" kata Anya. "Katakan padaku, apa yang membuatmu takut?"     

"Aku takut suatu hari nanti Nico tidak akan mencintaiku lagi. Aku takut tidak bisa menjadi istri yang baik. Aku takut memiliki anak. Aku takut tidak bisa menjadi ibu yang baik. Aku …"     

"Apakah kamu mencintai Nico?" sela Anya.     

Pertanyaan itu membuat Tara terdiam. Ia tidak butuh waktu lama untuk berpikir karena hatinya sudah tahu apa jawaban dari pertanyaan itu. Ia mengangguk dengan pelan.     

"Apakah selama kalian bersama, Nico pernah melakukan sesuatu yang tidak kamu sukai atau sesuatu yang mengecewakanmu?" tanya Anya dengan sabar.     

"Nico sangat narsis. Dia pemalas dan tidak mau membereskan barangnya. Ia tidak bisa mengendalikan diri di ranjang dan tidak pernah memberikan waktu bagiku untuk beristirahat …"     

Anya yang mendengarnya jadi ikut merasa malu. Ia tidak menyangka Tara akan menceritakan hal sedetail itu. Ia tidak mau mendengar mengenai urusan ranjang sahabatnya sehingga ia langsung menyela.     

"Itu artinya Nico juga sama sepertimu. Ia juga pria normal yang punya salah dan kelemahan. Ia juga pria normal yang punya rasa takut akan masa depan. Ia juga tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi ia berani mengambil langkah maju untuk bisa bersama denganmu. Pernikahan bukan hanya pelangi yang berwarna-warni, tetapi juga awan dan hujan. Di saat-saat seperti itu, kalian bisa menghadapinya bersama-sama," kata Anya dengan tenang. "Kalau memang Nico bisa membuatmu bahagia, jangan sampai kamu lewatkan kesempatan ini. Kalau kamu tidak menghargai cintanya, mungkin suatu hari nanti akan ada wanita lain yang ingin membahagiakannya …"     

Tara menggenggam kedua tangannya erat-erat. Tanpa sadar, tangannya berkeringat karena begitu gugup. "Tetapi aku takut. Bagaimana kalau aku bukan wanita yang tepat untuknya? Bagaimana kalau aku tidak bisa membuatnya bahagia? Aku dulu sangat jelek. Gigiku besar dan berantakan. Bagaimana kalau Nico menemukan keburukanku yang lain dan tidak menginginkanku lagi?"     

Tidak tahu sejak kapan Nico masuk, tiba-tiba saja ia sudah berada di dalam rumah.     

"Aku tidak peduli seperti apa rupamu dulu. Satu hal yang pasti aku mencintaimu dan aku akan selalu mencintaimu, Tara. Kamu boleh menolakku, tetapi aku akan selalu mencintaimu."     

"Kamu … Sejak kapan kamu masuk?" kata Tara dengan tergagap.     

Sekali lagi, Nico berlutut di hadapan Tara dan melamarnya. Ia ingin mendengarkan jawaban dari mulut Tara. "Menikahlah denganku."     

Tara panik saat melihat Nico kembali berlutut di hadapannya. Ia menoleh dan memandang ke arah Anya seolah meminta bantuan. "Tara, jangan menyesali keputusanmu. Aku tahu kamu ragu dan takut. Kalau kamu menolak Nico, kami tidak akan memaksamu. Besok, aku akan meminta ibunya untuk mengatur perjodohan dengan wanita lain agar ia segera menikah dan berhenti mengganggumu."     

Begitu mendengar ancaman terselubung dari Anya, Tara menjadi semakin panik. Ia takut untuk menikah dengan Nico, tetapi ia juga tidak mau kehilangan Nico. Ia menatap ke arah Nico yang masih berlutut di hadapannya.     

"Kalau kamu bisa menjanjikan tiga hal padaku, aku akan menikah denganmu," kata Tara dengan ekspresi serius.     

"Baiklah," jawab Nico.     

Melihat keseriusan Nico, Tara mulai memberitahu ketiga syaratnya. "Tidak peduli seberapa sibuknya kamu, tidak peduli apakah kamu ingin keluar untuk bertemu dengan teman-temanmu, kamu harus pulang paling lambat jam 12 malam."     

"Sepagi itu?" Nico terkejut mendengarnya.     

Ia dan Raka sering pergi keluar bersama-sama, untuk membahas masalah pekerjaan, masalah pribadi, atau hanya untuk menikmati suasana. Biasanya mereka akan minum-minum di bar hingga pagi.     

Tetapi Tara memintanya untuk pulang jam 12 malam.     

Raka bisa melihat keraguan Nico dan berkata, "Nico, bukan berarti kamu tidak bisa pergi. Kamu bisa keluar lebih awal dan pulang lebih pagi untuk menemani Tara."     

Nico seperti mendapatkan pencerahan dari Raka dan langsung setuju. "Aku berjanji. Apa syarat yang kedua?"     

"Setelah menikah, aku hanya mau punya satu anak, tidak peduli apakah anak kita laki-laki atau perempuan," kata Tara.     

"Kalau aku ingin dua anak, kita bisa memiliki anak kembar," jawab Nico dengan santai.     

Anya ingin tertawa mendengar jawaban itu. Memang benar Aiden dan Nico adalah paman dan keponakan. Aiden dulu juga mengatakan hal yang sama kepadanya.     

Dan sekarang, Anya benar-benar sedang mengandung anak kembar!     

Tara merasa kesal melihat jawaban Nico dan benar-benar ingin menendangnya. "Kalau aku tidak bisa punya anak kembar, jangan salahkan aku!"     

"Aku setuju. Lalu apa syarat yang ketiga?" tanya Nico.     

"Kalau kamu selingkuh dariku, semua properti dan hartamu akan menjadi milikku. Sebaliknya, kalau aku selingkuh, aku akan memberikan semua hartaku kepadamu," kata Tara.     

"Tidak masalah. Aku tidak akan pernah mengkhianatimu, Tara. Menikahlah denganku!" Nico merasa lututnya semakin kram.     

Mengapa ia harus membahas mengenai persyaratan ini sambil berlutut? Tidak bisakah mereka duduk di sofa sambil membahasnya dengan baik-baik?     

Anya menyenggol pundak Tara dengan tubuhnya sambil tersenyum. Tara juga ikut tersenyum melihat sahabatnya itu. Setelah itu, ia mengulurkan tangannya ke arah Nico.     

Sementara itu, Nico masih bengong, tidak menyangka Tara benar-benar akan menerima lamarannya.     

"Mengapa kamu bengong! Cepat pakaikan cincinnya!" Raka memukul pundak Nico sambil tertawa.     

Aiden yang menyaksikan semua ini hanya bisa menggelengkan kepalanya. Keponakannya ini benar-benar tidak tahu malu.     

Bagi Aiden, Nico terlihat seperti memojokkan Tara, terus berlutut di hadapan Tara dan memaksa Tara untuk menerima lamarannya. Ia seperti sedang mengemis cinta pada Tara.     

"Kenapa?" tanya Anya pada suaminya.     

"Nico benar-benar memalukan," bisik Aiden.     

"Bagian mana yang memalukan? Nico sangat tulus pada Tara. Semua orang di ruangan ini bisa merasakan cintanya untuk Tara. Tidak semua orang bisa merasakan lamaran yang romantis dan menyentuh seperti ini," kata Anya, seperti sedang menyiratkan sesuatu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.