Pernikahan Tersembunyi: My Imperfect CEO

Tidak Sengaja Bertemu



Tidak Sengaja Bertemu

"Apa yang kamu foto?" tanya Aiden sambil merebut ponsel Nico.     

"Aku mengambil foto gaya rambutmu. Nanti kalau aku potong rambut, aku akan menunjukkannya pada tukang potong-ku dan meminta gaya rambut yang sama dengan paman," kata Nico sambil tersenyum.     

"Kalau kakak potong seperti itu, kamu tidak akan terlihat setampan paman," kata-kata Nadine menyerang Nico dengan telak.     

Tara memandang wajah calon suaminya seperti sedang menerka-nerka, bagaimana kalau gaya rambut Aiden dipasangkan di wajah Nico. "Lebih baik kamu tidak mengikuti gaya rambut pamanmu. Cari gaya rambut yang cocok untuk dirimu sendiri."     

"Bukankah gaya rambutku sekarang juga sudah bagus? Kalau aku sedikit merawatnya, mungkin rambutku akan jauh lebih baik," tanya Nico.     

Anya berpikir sejenak dan kemudian memutuskan untuk memberi saran.     

"Nico, gaya rambutmu memang bagus, tetapi sulit untuk diatur. Keritingnya sedikit berlebihan dan membuatnya terlihat kacau. Kalau kamu dan Tara punya anak nanti, kalau kamu muncul di hadapan anakmu dengan rambut yang seperti sarang burung seperti itu, takutnya anakmu akan mengalami trauma," kata Anya.     

Nico memandang ke arah pamannya, berharap pamannya akan membelanya. Tetapi sayangnya Aiden malah mengangguk. "Dengarkan kata bibimu. Kamu harus sedikit memperhatikan penampilanmu."     

"Jadi, menurut paman penampilanku tidak menarik?" tanya Nico.     

"Benar! Warna bajumu terlalu norak. Setidaknya, kalau kamu tidak suka warna-warna netral, jangan pilih warna yang mencolok dan beragam. Pilih satu warna saja. Jangan menggunakan pakaian seperti lampu lalu lintas," Tara menggelengkan kepalanya dengan pasrah. "Aku ingin menunda pernikahan kita untuk waktu yang tidak ditentukan. Aku butuh waktu apakah aku benar-benar bisa hidup selamanya bersama denganmu."     

"Aku juga punya gayaku sendiri. Kamu harusnya menerimaku apa adanya," kata Nico dengan kesal.     

"Tetapi sayangnya kakak tidak punya selera yang bagus. Warna baju yang kakak pilih selalu menyakiti mata," Nadine menyerang Nico sekali lagi.     

"Kalau seseorang tidak sependapat denganmu, mungkin memang benar itu hanyalah masalah selera. Tetapi kalau banyak orang yang mengeluh, itu artinya memang ada yang salah denganmu," kata Anya dengan tenang.     

"Kalau kamu ingin orang-orang memperhatikanmu, tidak perlu menggunakan pakaian yang mencolok. Kamu juga bisa menggunakan kemampuanmu," Aiden bangkit berdiri dan menepuk pundak Nico. "Pikirkan kata-kataku baik-baik."     

Nico tidak membantah lagi dan memikirkan kritikkan dari orang-orang di sekitarnya.     

Nadine juga meninggalkan meja makan. Hari ini ia akan menemani Anya dan Aiden pergi ke rumah sakit. Ia sudah meminta ijin untuk tidak masuk kerja pada hari ini. Saat Mila menanyakan alasan ijinnya, Anya menyuruh Nadine untuk memberitahunya yang sebenarnya, bahwa Nadine akan mengantar Anya ke rumah sakit.     

Tidak tahu apa tujuan Anya sebenarnya, memberitahu Mila mengenai jadwal pemeriksaannya.     

Setelah mereka semua pergi, hanya tersisa Nico dan Tara saja di ruang makan. Nico berpindah tempat duduk di samping Tara dan bertanya, "Tara, apakah kamu benar-benar ingin menunda pernikahan kita?"     

"Aku serius. Aku menyukaimu, jadi aku bisa menerimamu apa adanya. Tetapi bagaimana dengan anak kita? Apakah ia bisa menerima ayahnya seperti ini? Aku memikirkan mengenai masa depan anakku. Aku ingin anakku memiliki ayah yang baik dan bertanggung jawab," kata Tara dengan serius.     

"Aku … Aku akan menjadi ayah yang baik. Aku pasti akan menjadi ayah yang baik," kata Nico sambil menepuk dadanya.     

"Kalau begitu, saat pulang nanti, kamu harus menyingkirkan baju-bajumu yang terlalu mencolok. Aku tidak melarangmu untuk menggunakan aksesoris, tetapi tolong tahan dirimu agar tidak terlalu membuat orang pusing," pinta Tara.     

"Kamu saja yang membuangnya. Aku … Aku tidak akan rela untuk membuangnya sendiri." Nico memeluk Tara dan menyandarkan kepalanya di pundak Tara. "Tara, aku benar-benar mencintaimu."     

"Aku juga. Itu sebabnya, aku memberimu waktu untuk berubah menjadi pria yang lebih bertanggung jawab. Tiga bulan …"     

"Tiga bulan? Tetapi … Tetapi …"     

"Kalau kamu tidak bisa menunjukkan kepadaku keseriusanmu, tidak akan ada pernikahan di antara kita. Mungkin kamu juga akan kehilangan aku." Tara meletakkan sendok garpunya dan mengusap bibirnya dengan tisu. "Aku sudah selesai makan. Kamu bisa makan pelan-pelan."     

Nico duduk di meja makan untuk waktu yang cukup lama. Tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan, tetapi Hana yang memandangnya merasa Nico akan benar-benar berubah.     

Selama bertahun-tahun, Nico selalu bersembunyi di balik sayap kakek dan kedua pamannya, tanpa pernah mengalami kesulitan dalam hidupnya.     

Ia terbiasa hidup seperti pangeran yang kaya raya dan berkuasa, tidak pernah merasakan perjuangan apa pun dalam hidupnya.     

Kalau Tara benar-benar membatalkan pertunangan mereka, itu akan menjadi pukulan yang besar untuknya.     

Nico sangat mencintai Tara dan Tara juga mencintai Nico. Tetapi Tara memikirkan mengenai masa depan mereka dan merasa bahwa Nico belum bisa bertanggung jawab menjadi seorang ayah.     

Nico terlalu kekanakan. Ia masih suka bermain dan keluar malam untuk nongkrong.     

Ia tidak bisa mandiri, selalu bergantung pada pamannya.     

Ia tidak serius dalam pekerjaannya dan merasa tidak bertanggung jawab atas Atmajaya Group.     

Nico berpikir cukup lama di ruang makan.     

Sebenarnya, seperti apakah sosok ayah itu?     

Nico memikirkan mengenai ayahnya. Sejak kecil, Aiden lah yang lebih sering menemaninya. Ia tidak terlalu mengingat sosok ayahnya, tidak tahu bagaimana cara menjadi seorang ayah yang baik.     

Ia mengingat kembali bagaimana Aiden menghiburnya saat ia kalah berkelahi.     

Ketika ia gagal dalam ujian, Aiden yang mengajarinya.     

Ketika ia mulai malas belajar, Aiden yang mengingatkannya untuk kembali ke jalan yang benar.     

Bagi Nico, Aiden adalah teman, paman dan seorang ayah untunya.     

Mungkin, sosok ayah yang baik seperti Aiden yang ia kenal sejak kecil. Aiden adalah sosok ayah sekaligus teman untuknya.     

Ayah yang tegas saat mendidiknya dan teman yang baik saat dibutuhkan.     

Nico ingin memahami semua ini lebih dalam.     

Ketika kembali ke rumah, Tara sudah menyingkirkan semua baju-bajunya yang terlalu berlebihan ke dalam sebuah kotak besar. Tara juga sudah menyiapkan baju yang cukup netral untuk ia gunakan ke kantor hari ini.     

Setelah Nico selesai mandi, Tara sudah pergi bekerja.     

Pada saat yang bersamaan, Aiden dan Anya sudah tiba di rumah sakit. Karena Anya mau menjalani pemeriksaan USG, para pengawal Aiden tidak diperbolehkan untuk masuk.     

Pada akhirnya, hanya Nadine saja yang diperbolehkan untuk menemani mereka.     

Tidak disangka, mereka bertemu dengan Keara. Keara datang dan menghampiri mereka dengan senyuman. Namun, Aiden langsung menghentikannya ketika Keara mendekat ke arah Anya.     

"Aiden, apakah kamu sudah bilang padanya siapa aku sebenarnya?" tanay Keara sambil tersenyum pada Anya.     

"Maaf aku tidak terlalu mengenalmu," kata Anya dengan senyuman dingin di wajahnya.     

"Anya, apakah kamu tahu bahwa ibu mencarimu? Menurutmu, bagaimana ibu bisa sakit seperti ini? itu karena ibu terlalu rindu padamu dan depresi, mengira kamu sudah mati. Penyakit ibu ini terjadi karena kamu. Tetapi kamu malah hidup dengan bahagia seperti ini. Mengapa kamu tidak mengunjunginya?" tanya Keara.     

"Ibuku sangat sehat. Ia sedang mengurus tamannya sekarang. Setiap hari, ia bangun pagi dan tidur lebih awal. Itu sebabnya umur ibuku sangat panjang," Anya mengelak, tidak mengakui Indah sebagai ibunya.     

Baginya, Diana Hutama adalah ibunya, sekaligus idolanya.     

"Apakah kamu benar-benar tidak tahu? Atau kamu hanya berpura-pura bodoh? Dokter bilang ibu tidak bisa bertahan lama, paling lama hanya tiga bulan. Aku datang hari ini karena aku berencana menjadwalkan operasi caesar di akhir bulan agar aku bisa menyelamatkan ibu," kata Keara.     

"Itu adalah urusan keluargamu. Kamu tidak perlu memberitahuku," kata Anya dengan tenang.     

Tetapi Nadine yang berdiri di sampingnya bisa merasakan sekujur tubuh Anya gemetaran.     

"Anya, apakah kamu sekejam itu? Kamu bahkan tidak mau mengunjunginya. Apakah kamu tidak takut, tidak bisa bertemu dengan ibu selamanya?" seperti seorang aktris yang sudah terlatih, mudah bagi Keara untuk meneteskan air matanya.     

Bahkan matanya terlihat memerah dan ekspresinya terlihat sedih.     

Tanpa sadar tangan Anya terkepal dengan erat. Mungkin memang benar ia tidak memiliki perasaan terhadap Indah, tetapi hubungan darah tidak akan pernah bisa dihapuskan.     

Tidak peduli sudah berapa lama mereka berpisah, darah yang mengalir di dalam tubuh Anya adalah darah Galih dan Indah.     

Melihat istrinya yang mulai kehilangan kesabarannya, Aiden langsung berdiri di depan Anya dan melindunginya. Ia menatap Keara dengan dingin. "Apa yang kamu inginkan?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.